MASUK Islamnya Umar bin Khattab terjadi pada bulan Dzulhijjah, tahun ke enam kenabian. Persisnya tiga hari setelah keislaman Hamzah.
Beberapa waktu sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berdoa untuk keislaman Umar sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dan dishohihkan oleh beliau dari Ibnu ‘Umar, dan diriwayatkan oleh Ath-Thobaroni dari Ibnu Mas’ud dan Anas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang Engkau cintai, Umar bin Al-Khatthab atau Abu Jahl bin Hisyam.” Maka yang lebih Allah cintai adalah Umar.” (Sunan At-Tirmidzi 2/209)
Baca Juga: Hudzaifah Ibnul Yaman, Orang Kepercayaan Umar
Masuk Islamnya Umar bin Khattab di Bulan Dzulhijjah
Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keislaman ‘Umar menunjukkan bahwa Islam masuk ke dalam hati beliau secara bertahap.
Umar radhiyallahu ‘anhu dikenal sebagai sosok yang keras tabiat dan memiliki tekad yang kuat. Dahulu Umar sering mengganggu kaum Muslimin, kendati demikian sesungguhnya telah terjadi perang batin dalam diri Umar.
Di satu sisi Umar harus menghormati aturan adat yang dibikin oleh para pendahulunya namun bersamaan dengan itu beliau takjub dengan kokohnya mental kaum Muslimin dan kesabaran mereka dalam menghadapi banyak cobaan demi mempertahankan aqidah.
Selain itu muncul banyak keraguan dalam hati Umar yang tengah memperdaya dirinya, karena sebagai orang yang berakal beliau berpikir boleh jadi apa yang diajarkan oleh Islam itu lebih mulia dan lebih suci ketimbang agama yang lain. (Fiqhus Sirah hal. 92-93)
Berikut ini ringkasan kisah keislaman Umar setelah mengompromikan riwayat-riwayatnya. Pada suatu malam Umar bermalam di luar rumah, beliau beranjak menuju Masjidil Harom lalu masuk ke dalam tirai Ka’bah.
Ketika itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berdiri untuk shalat, beliau memulainya dengan membaca surat “Al-Haqqoh”. Lantas Umar menyimak bacaan Qur’an Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sambil takjub dengan kandungan ayatnya, beliau berkata,
“Demi Allah! Sungguh dia ini benar-benar penyair seperti yang dikatakan oleh orang-orang Quroisy.”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat, “Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya yang mulia. Dan Al-Qur’an sekali-kali bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali kalian beriman kepadanya.” (Al-Haqqoh: 40-41)
Kemudian aku berkata, “Kalau begitu, dia ini tukang tenung!” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan bacaannya, “Dan bukan pula perkataan tukang tenung, sedikit sekali kalian mengambil pelajaran darinya. Ini adalah wahyu yang diturunkan dari Robb semesta alam.” Sampai akhir surat tersebut, saat itulah kebenaran Islam mulai masuk ke dalam hatiku. (Tarikh ‘Umar karya Ibnul Jauzi hal. 6)
Inilah awal mula benih Islam masuk ke dalam hati Umar, meski sentimen jahiliyyah, fanatisme terhadap tradisi nenek moyang masih dominan mengalahkan kebenaran yang dibisikkan oleh suara hatinya, sehingga Umar tetap melawan Islam tidak peduli dengan pertentangan batinnya.
Sampailah pada suatu hari Umar keluar sambil menghunuskan pedangnya ingin membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ada orang yang berkata kepadanya:
“Wahai Umar, engkau hendak kemana?”
Umar menjawab, “Aku ingin membunuh Muhammad!”
Orang itu berkata, “Bagaimana engkau bisa merasa aman dari ancaman Bani Hasyim dan Bani Zuhroh kalau Muhammad engkau bunuh?”
Umar menjawab, “Apakah engkau sudah menjadi pengikut agama baru dan keluar dari agamamu!”
Orang itu berkata, “Mau aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang membuatmu terkejut wahai Umar?! Sesungguhnya adik perempuanmu dan juga iparmu telah menjadi pengikut agama baru dan meninggalkan agama yang engkau anut!”
Bertolaklah Umar mendatangi keduanya dan di sana ada Khobbab bin Al-‘Arits yang membawa lembaran Qur’an bertuliskan surat “Thoha” yang sedang dibacakan. Mengetahui kedatangan Umar maka Khobbab menutupi lembaran Qur’an tersebut dan bersembunyi ke bagian belakang rumah. Umar berkata, “Ada apa suara bisik-bisik yang aku dengar dari kalian?
Keduanya menjawab, “Tidak ada apa-apa, hanya sekedar pembicaraan di antara kami.”
Umar berkata, “Nampaknya kalian sudah menjadi pengikuti agama baru!”
Iparnya berkata, “Wahai ‘Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu ada pada selain agamamu?!” Mendengar itu, Umar langsung melompat ke arah iparnya dan menginjaknya dengan keras. Lalu datanglah adiknya mengangkat suaminya, namun ‘Umar malah menamparnya sehingga darah mengalir di wajahnya.
Maka adiknya berkata dengan marah, “Wahai Umar! Jika kebenaran ada pada selain agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!”.
Umar putus asa, merasa malu dan menyesali apa yang diperbuatnya, lalu dia berkata, “Berikan tulisan yang ada di tangan kalian kepadaku aku ingin membacanya.”
Maka adiknya meminta Umar agar bangkit dan mandi karena masih dianggap najis, lalu Umar membaca, “Bismillahirrohmanirrohim“, dia bergumam, “Sungguh nama-nama yang baik dan suci.”
Kemudian ‘Umar membaca surat Thoha sampai kepada ayat, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku.” (Thoha: 14)
Umar terkagum-kagum dengan kandungan ayat ini dan minta dibawa ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mendengar hal itu, Khobbab keluar dari persembunyiannya sambil berkata,
“Wahai Umar bergembiralah, karena sungguh aku berharap engkaulah yang dimaksud dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam kamis, “Ya Allah muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang Engkau cintai, Umar bin Al-Khotthob atau Abu Jahl bin Hisyam.”
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam ketika itu sedang berada di rumah salah seorang shohabatnya yang terletak di kaki bukit Shofa. Berjumpalah Umar dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mencengkeram kerah jubah ‘Umar dan gagang pedangnya seraya bersabda:
“Tidakkah engkau berhenti dari tindakanmu wahai Umar hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana atasmu sebagaimana yang menimpa Al-Walid bin Al-Mughirah? Ya Allah inilah Umar bin Al-Khotthob! Ya Allah muliakanlah Islam dengan Umar bin Al-Khotthob!”
Akhirnya Umar bersaksi dengan dua kalimat syahadat, “Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan engkau adalah utusan Allah.” Maka para penghuni rumah bertakbir sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di sekitar Masjidil Haram.”
(Tarikh ‘Umar hal. 7, 10, 11, Mukhtashor Sirotir Rosul hal. 102-103, Ibnu Hisyam 1/343, 344, 345, 346 – dinukil dari kitab “Ar-Rohiqul Makhtum” hal. 89 – 92 secara ringkas karya Shofiyyurrohman Al-Mubarokfuri)