Chanelmuslim.com – Bahagia yang Berbeda dalam Pelukan Ibu
Apakah yang ingin kita raih untuk kehidupan ini? Pendidikan yang tinggi dan karir yang bagus sehingga membuat bangga keluarga? Benarkah setelah mencapai itu semua kita akan merasa tenang dan puas? Berikut adalah sebuah kisah nyata inspiratif dari sebuah perjalanan hidup.
Dulu sewaktu saya masih kecil, saya selalu mendapat peringkat 1 baik di tingkat SD, SMP, SMA
Semua merasa senang, ibu dan ayah pun selalu memeluk saya dengan bangga. Memeluk dan mencium saya. Keluarga sangat senang melihat anaknya yang pintar dan berprestasi.
Begitupun ketika aku masuk perguruan tinggi ternama, tanpa embel-embel test.
Orang tua ku bangga, teman-teman ku pun merasa bangga dengan diriku.
Baca Juga: Tiga Karakter Ibu Masa Kini yang Perlu Kamu Ketahui
Bahagia yang Berbeda dalam Pelukan Ibu
Tatkala aku menjalani masa kuliah IPK ku selalu 4 dan aku lulus dari perguruan tinggi yang bergengsi itu dengan predikat cumlaude.
Semua bahagia, para rektor menyalami ku dan merasa bangga memiliki mahasiswa seperti diriku, jangan kau tanya tentang orang tua ku, tentunya mereka orang yang paling bangga, bangga melihat anaknya lulus dengan predikat cum laude. Teman-temanku seperjuangan pun gembira, semua wajar memancarkan kebahagiaan.
Lulus dari perguruan tinggi kini ku memasuki perusahan bonafit. Karirku sangat melejit tinggi.
Semua pun merasa bangga dengan diriku, semua kolega-kolega bisnisku selalu menjabat tanganku, semua hormat dan menghargai diriku, teman-teman lama pun selalu menyebut namaku sebagai salah satu orang sukses. Semua orang puji saya.
Namun ketika saya berikrar untuk berjuang bersama barisan pembela rasulullah saw, dan ku buang segala title keduniaan ku, kutinggalkan dunia ku untuk mengejar akhirat dan ridhanya. Seketika itu pula dunia terasa berbalik. Yaa… Dunia seperti berbalik. Ku putuskan untuk merantau dan memilih mempelajari ilmu al-qur’an dan sunnah rasulullah saw, dan kuhafalkan Al-Qur’an 30 juz.
Semua orang mencemooh dan memaki diri saya. Tak ada lagi pujian, tak ada lagi senyum kebanggan, tak ada lagi peluk hangat. Yang ada hanyalah cacian.
Terkadang, orang memaki diriku, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau masuk pesantren.
Dia itu orang bodoh! Udah punya pekerjaan enak-enak ditinggalin.
Berbagai caci dan maki tertuju untuk diriku, bahkan dari keluarga yang tak jarang membuat diriku sedih.
“Apa ada lulusan perguruan tinggi terkenal masuk pondok tahfidz? Enggak sayang apa udah dapet kerja enak-enak? Mau makan dari mana?
Kata mereka..
Ya, pertanyaan-pertanyaan itu yang terus menyerang dan menyudutkan diriku.
Hingga suatu ketika.
Ketika fajar mulai muncul.
Aku ajak ibuku pergi untuk shalat berjamaah di masjid. Dimasjid tempat biasa aku menjadi imam.
Itu adalah shalat subuh yang akan selalu ku kenang.
Ku angkat tangan seraya mengucapkan takbir. ” Allaaahuu akbaar” ku agungkan Allah dengan seagung-agungnya.
Ku baca iftitah dalam hati ku, berdesir rasanya.
Kulanjutkan membaca Al-Fatihah, ku lantunkan al-fatihah.
Bismillahirrahmaanirrahiiim, (sampai disini hati ku begetar) ku sebut namanya yang maha pengasih lagi maha penyayang terhadap hambanya.
Alhamdulillahirabbil alamiin… Ku panjatkan puji-pujian untuk rabb semesta alam..
Kulanjutkan bacaan lamat-lamat, ku hayati surah al-fatihah dengan seindah-indahnya tadabbur, tanpa terasa air mata jatuh membasahi wajahku.
Berat lidah ku untuk melanjutkan ayat, ar-rahmaanirrahiim, ku lanjutkan ayat dengan nada yang mulai bergetar..
Malikiyaumiddin, kali ini aku sudah tak kuasa menahan tangisku.
Iyyaka na’budu wa iyyaka nastaiin, yaa Allah hanya kepadamulah kami menyembah dan hanya kepadamulah kami meminta pertolongan. Hati ku terasa tercabik-cabik seringkali diri ini menuntut kepada Allah untuk memenuhi kebutuhan ku, tapi aku lalai menjalankan kewajiban-kewajiban ku kepada Allah.
Sampailah kepada akhir ayat dalam surah Al-Fatihah. Ku seka air mata ku, dan ku tenangkan sejenak diriku.
Selanjutnya subuh itu aku putuskan untuk membaca surah ‘Abasa. Ku hanyut dalam bacaan ku, terasa syahdu, hingga terdengar isak tangis jamaah sesekali.
Bacaan terus mengalun, sehingga sampailah pada ayat 34.
Tangisku membuncah sejadi-jadinya.
Yauma yafirrul mar’u min akhii, wa ummihii wa abiih, wa shaahibatihi wa baniih, likullimriim minhum yauma idzin sya’nuy yughniih…
Tangisku pun membuncah, tak mampu ku lanjutkan ayat, tubuhku terasa lemas.
Hingga setelah shalat subuh selesai dalam perjalanan pulang. Ibuku menanyakan kepadaku, “mengapa kamu menangis saat membaca ayat tadi, apa artinya?”
Aku hentikan langkahku dan aku jelaskan pada ibuku. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Wahai ibu..
Ayat itu menjelaskan tentang huru hara padang mahsyar saat kiamat nanti, semua akan lari meninggalkan sudaranya.
Ibunya…
Bapaknya..
Istri dan anaknya..
Semuanya sibuk pada urusan masing-masing.
Bila kita kaya orang akan memuji kita dengan sebutan orang yang berjaya.
Namun ketika kiamat terjadi apalah gunanya segala puji-pujian manusia itu.
Semua akan meninggalkan kita. Bahkan ibupun akan meninggalkan saya..
Ibu pun meneteskan air mata, ku seka air mata ibu.
Ku lanjutkan ceritanya, ku pun takut bu bila dimahsyar bekal yang ku bawa sedikit.
Pujian oran yang ramai selama bertahun-tahun pun kini tak berguna lagi.
Lalu kenapa orang beramai ramai menginginkan pujian dan takut mendapat celaan. Merekapun tak menghiraukan kehidupan akhiratnya kelak.
Ibu kembali memeluk saya dan tersenyum. Ibu mengatakan, betapa bahagianya punya anak seperti dirimu.
Baru kali ini aku merasa bahagia, karena ibuku bangga terhadap diriku.
Berbagai pencapaian yang aku dapat dulu, walaupun ibu sama memeluk ku namun baru kali ini pelukan itu sangat membekas dalam jiwaku.
Wahai manusia sebenarnya apa yang kalian kejar?
Dan apa pula yang mngejar kalian?
Bukankah maut semakin hari semakin mendekat?
Dunia yang menipu jangan sampai menipu dan membuat mu lupa pada negeri akhirat kelak.
Wahai saudaraku, apakah kalian sadar nafas kalian hanya beberapa saat lagi?
Sebelum lubang kubur kalian akan digali?
Apa yang aku dan kalian banggakan dihadapan Allah dan Rasul?
(w)
Sumber: #InspiratorQuran -Inspirasi Menghafal Quran-