ChanelMuslim.com – Penjelasan hadits mengenai pernikahan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Aisyah ini ditulis oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan.
Maka, berbagai jalur di atas menunjukkan jelas keliru jika menganggap hadits ini hanya berasal dari riwayat Hisyam bin ‘Urwah saja. Benarkah Imam Al Bukhari dan Imam Muslim memudah-mudahkan?
Mereka menuduh Imam Bukhari dan Imam Muslim telah melonggarkan masalah ini, sehingga mereka memasukan hadits ini dalam kitab shahihnya masing-masing.
Tuduhan itu sama sekali tidak benar jika dilihat dari banyak sisi:
Pertama, Bagaimana mungkin mereka dianggap memudahkan (mutasahil), padahal standard dan syarat mereka berdua untuk menshahihkan hadits adalah yang paling ketat?
Berkata Imam An Nawawi dalam kitab At Taqrib:
أول مصنف في الصحيح المجرد، صحيح البخاري، ثم مسلم، وهما أصح الكتب بعد القرآن، والبخاري أصحهما وأكثرهما فوائد، وقيل مسلم أصح، والصواب الأول
“Kitab pertama yang paling shahih adalah Shahih Al Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran.
Dan Shahih Al Bukhari paling shahih di antara keduanya dan paling banyak manfaatnya. Ada yang mengatakan Shahih Muslim paling shahih, tapi yang benar adalah yang pertama.”
(Imam An Nawawi, At Taqrib wat Taisir, Hlm. 1. Mawqi’ Ruh Al Islam) Beliau menambahkan:
الصحيح أقسام: أعلاها ما اتفق عليه البخاري ومسلم، ثم ما انفرد به البخاري، ثم مسلم، ثم ما على شرطهما، ثم على شرط البخاري، ثم مسلم، ثم صحيح عند غيرهما، وإذا قاولوا صحيح متفق عليه أو على صحته فمرادهم اتفاق الشيخين
“Hadits Shahih itu terbagi-bagi, paling tinggi adalah yang disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim, kemudian Al Bukhari saja, kemudian Muslim, kemudian hadits yang sesuai syarat keduanya, kemudian yang sesuai syarat Al Bukhari, kemudian Muslim, kemudian shahih menurut selain keduanya.
Jika mereka mengatakan: Shahih Muttafaq ‘Alaih atau ‘Ala Shihatihi maksudnya adalah disepakati oleh Syaikhain (dua syaikh yakni Al Bukhari dan Muslim).” (Ibid)
Baca Juga: Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah (Bagian 4)
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah (Bagian 5)
Kedua, terkenal bahwa Imam Al Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang menolak menggunakan hadits dhaif dalam semua urusan dan perkara, termasuk dalam masalah selain aqidah, hukum, halal dan haram, yang para ulama istilahkan perkara fadhailul a’mal, targhib wat tarhib, akhlak, dan semisalnya.
Ini juga menjadi pendapat Imam Ibnu Hazm, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al Albani, dan lainnya.
Bagaimana mungkin Imam Bukhari mengendorkan sanad, padahal dia termasuk ulama yang menolak memakai hadits dhaif dalam hal apa pun?
Ketiga, ini yang paling penting, bahwa Hisyam bin ‘Urwah telah dipakai oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka di ratusan hadits dengan berbagai tema sampai-sampai kami pun sulit menghitungnya karena saking banyaknya, baik tema-tema aqidah, halal haram, dan hukum, dan tentunya fadhailul a’mal.
Apa artinya? Artinya menurut standar mereka berdua Hisyam bin ‘Urwah adalah tsiqah (terpercaya) dalam meriwayatkan semua tema hadits, bukan hanya fadhailul a’mal.
Benarkah tidak rasional? Ya, jika kita menggunakan kaca mata manusia saat ini, maka apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah tidak rasional dan bertentangan dengan tradisi manusia saat ini!
Tetapi pandanglah dengan kaca mata manusia yang hidup zaman itu, masa Beliau dan ‘Aisyah hidup bersama-sama dan itu kebiasaan bangsa Arab saat itu dan beberapa abad setelahnya.
Justru tidak rasional jika ada manusia zaman ini yang menilai manusia masa lalu dengan sudut pandang manusia masa kini.
Tidak masuk akal menilai standar kepantasan manusia lalu dengan standar kepantasan manusia masa kini. Lihatlah sejarah, dan lihatlah kebiasaan mereka, dan lihatlah buku-buku yang ditulis para fuqaha.
Niscaya akan kita pahami dan maklumi, itulah kebiasaan mereka saat itu. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ‘Aisyah termasuk manusia yang hidup pada zaman itu, tentu dia akan seperti masyarakatnya.
Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash hanya berbeda 11 tahun dengan ayahnya (Amr bin Al ‘Ash). (Lihat Siyar A’lamin Nubala, 3/ 17-18) apa artinya? Amr bin Al Ash menikah pada usia sangat belia, sekitar 10 – 13 tahun![ind]
(bersambung)