BAGAIMANA hukum qurban atas nama orang yang sudah wafat?
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan bahwa hal ini diperselisihkan para ulama. Mayoritas mengatakan boleh dan sampai pahalanya, baik di wasiatkan atau tidak oleh pihak yang wafat di masa hidupnya, sebagaimana pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali.
Ada pun Syafi’iyah mengatakan tidak boleh, kecuali sebelumnya ada wasiat atau nazar dari pihak yang wafat di masa hidupnya.
Di sisi lain, tidak ada hadits yang benar-benar secara lugas menunjukkan hal itu.
Sementara, kelompok yang membolehkan berdalil:
1. Diqiyaskan dengan amalan orang hidup yang sampai kepada orang yang sudah wafat, seperti doa, sedekah, dan badal haji atau umrah.
2. Ibadah maaliyah (harta) bisa diniatkan untuk orang yang sudah wafat seperti sedekah, dan berqurban jelas-jelas termasuk ibadah maaliyah.
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
وَالْأَئِمَّةُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الصَّدَقَةَ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ وَكَذَلِكَ الْعِبَادَاتُ الْمَالِيَّةُ : كَالْعِتْقِ
“Para imam telah sepakat bahwa sedekah akan sampai kepada mayit, demikian juga ibadah maaliyah (harta), seperti membebaskan budak.” (Majmu’ Al Fatawa, 5/466).
Imam Al Buhuti mengatakan:
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ
Imam Ahmad berkata: sampai kepada mayit semua bentuk amal kebaikan, baik berupa doa, sedekah, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu. (Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16).
3. Ada hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan bahwa qurban untuk orang yang sudah wafat adalah boleh dan pahalanya sampai, Insya Allah.
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
Hukum Qurban Atas Nama yang Sudah Wafat
قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
‘Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa min ummati Muhamamdin (Dengan Nama Allah, Ya Allah terimalah Kurban dari Muhammad dan umat Muhammad),” lalu beliau pun menyembelih.” (HR. Muslim no. 1967).
Hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan agar qurban dari Beliau, dan umatnya diterima Allah Ta’ala.
Hadits ini menyebut “umat Muhammad” secara umum, tidak dikhususkan untuk yang masih hidup saja. Sebab, “umat Muhammad” ada yang masih hidup dan yang sudah wafat.
Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:
Jika seseorang berwasiat untuk berkurban atau berwaqaf untuk itu, maka dibolehkan berkurban baginya menurut kesepakatan ulama.
Jika dia memiliki kewajiban karena nazar atau selainnya, maka ahli warisnya wajib melaksanakannya.
Ada pun jika dia tidak berwasiat, dan ahli waris dan selainnya nya hendak berkurban untuknya dari hartanya sendiri, maka menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, membolehkan berkurban untuknya, hanya saja Malikiyah membolehkan dengan kemakruhan.
Baca juga: Larangan Memberi Upah Penjagal dari Daging Qurban
Mereka membolehkan karena kematian tidaklah membuat mayit terhalang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala sebagaimana sedekah dan haji.
Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkurban dengan dua kambing kibas, satu untuk dirinya dan satu untuk umatnya yang belum berkurban.
Atas dasar ini, seandainya tujuh orang berpartisipasi dalam kurban Unta, lalu salah seorang ada yang wafat sebelum penyembelihan.
Lalu ahli warisnya mengatakan –dan mereka sudah baligh- : sembelihlah untuknya, maka itu boleh.
Sedangkan kalangan Syafi’iyah berpendapat tidak boleh berkurban untuk mayit tanpa diwasiatkan dan waqaf. (Al Mausu’ah, 5/106-107).[Sdz]