ChanelMuslim.com- Hukum jabat tangan dengan lawan jenis. Adapun berjabat tangan dengan lawan jenis, maka ada hukum yang berbeda antara sesama mahram dan yang bukan mahram saat berjabat tangan.
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, 20:211. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun, ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang, tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun, sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi.” (Al-Majmu’, 4:635).
Ulama Syafiiyah mengharamkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram. Mereka tidak mengecualikan yang sudah sepuh, yang tak ada syahwat, atau tak ada rasa apa-apa. Mereka pun tidak membedakannya dengan yang muda-muda. (Lihat Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 11:452).
Baca Juga : Wanita Bepergian Tanpa Mahram
Kenali mahram kita agar tidak bebas berjabat tangan
Dalam ayat yang membahas tentang mahram disebutkan,
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisaa’: 22-24).
Yang termasuk mahram yang disebutkan dalam ayat di atas dipandang dari sisi laki-laki:
1. Istri dari bapak
2. ibu kandung
3. anak perempuan
4. saudara perempuan
5. saudara bapak yang perempuan (bibi)
6. saudara ibu yang perempuan (bibi)
7. anak-anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
8. anak-anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
9. ibu persusuan
10. saudara perempuan sepersusuan
11. ibu mertua
12. anak dari janda di mana telah berlangsung akad dan hubungan intim dengan janda tersebut (disebut: rabibah)
13. istri-istri anak kandung (menantu)
14. saudara perempuan dari istri (ipar)
15. wanita yang bersuami
Catatan
Sifat ipar (saudara dari istri) dan wanita yang bersuami, juga anak dari janda di mana sudah menikah, tetapi janda tersebut belum disetubuhi, maka sifat mahramnya hanya sementara (mahram muaqqat), dalam bergaul dianggap seperti bergaul dengan wanita lain (yang bukan mahram).
Sedangkan tiga belas lainnya masuk dalam mahram muabbad (mahram selamanya), berarti selamanya itu mahram dan tidak boleh dinikahi.
Yang tidak disebutkan dalam ayat tentang mahram, maka masuk bukan mahram karena dalam akhir pembahasan mahram disebutkan,
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.” (QS. An-Nisaa’: 24).
Baca Juga : Hukum Zakat Profesi Penghasilan Mata Pencaharian
Penjelasan rinci mengenai mahram
Total mahram ada empat belas, nomor satu dan dua (yang disebutkan di atas) dianggap satu. Dari empat belas ini:
Ada tujuh mahram karena nasab.
Ada dua mahram karena persusuan (lima kali susuan, sebelum usia anak dua tahun).
Ada empat mahram karena mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan).
Ada satu mahram sementara karena berkumpulnya dua wanita.
Maka wanita-wanita di atas tidak boleh ada akad nikah dengan mereka.
Mahram selamanya (mahram muabbad) ada tiga:
(1) karena nasab,
(2) karena mushaharah (kekeluargaan karena pernikahan), dan
(3) karena persusuan.
Mahram karena nasab
1. Ibu
2. Anak perempuan
3. Saudara perempuan
4. Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
5. Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
6. Saudara perempuan dari ayah (bibi)
7. Saudara perempuan dari ibu (bibi)
Mahram karena mushaharah (pernikahan)
1. Istri dari ayah
2. Istri dari anak laki-laki (menantu)
3. Ibu dari istri (mertua)
4. Anak perempuan dari istri (rabibah)
Mahram karena persusuan
1. Ibu persusuan
2. Saudara perempuan persusuan
3. Anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan persusuan)
4. Anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan persusuan)
5. Saudara perempuan dari ayah sepersusuan (bibi persusuan)
6. Saudara perempuan dari ibu sepersusuan (bibi sepersusuan)
7. Setiap perempuan yang menyusui pada istri, maka si suami jadi bapak bagi anak perempuan yang disusui tadi. Begitu pula yang menyusui dari istri anak, karena menjadi anak perempuan dari anak laki-laki persusuan (alias: cucu persusuan).
Mahram karena pernikahan dan persusuan
1. Ibu persusuan dari istri (mertua persusuan)
2. Anak perempuan persusuan dari istri yang janda yang dinikahi dan sudah disetubuhi (rabibah persusuan)
3. Istrinya bapak susu di mana bapak susunya memiliki dua istri, ia menyusui pada salah satu istrinya (ibu tiri persusuan)
4. Istri dari anak laki-laki persusuan (menantu persusuan.
Mahram sementara (mahram muaqqat)
1. Menikah dengan dua saudara perempuan sekaligus. Menikah dengan ipar itu tidak boleh kecuali sudah bercerai dengan istri yang jadi saudaranya.
2. Menikah dengan seorang wanita dan bibinya juga tidak boleh. Penjelasan macam-macam mahram ini diambil dari Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 4:28-36.
Demikian.[Ind/Wld].
Referensi: Buku Fikih Lebaran, Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, Penerbit Rumaysho.