CARA membayar fidyah. Ustaz, saya mau bertanya, siapa saja yang perlu membayar fidyah, bagaimana cara membayar fidyah dan niatnya, serta penyalurannya?
Jawaban Ustaz Farid Nu’man Hasan sebagai berikut. Wanita hamil dan menyusui, mengganti puasa dengan qadha atau cukup membayar fidyah?
Masalah ini termasuk yang banyak intensitas pertanyaannya. Sebelumnya, kita lihat dulu karena apa Qadha dan Fidyah itu.
Baca Juga: Cara Membayar Utang Puasa Orang tua
▪️ Dalil Qadha, firman Allah Taala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
▪️ Dalil Fidyah adalah kalimat selanjutnya:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Cara Membayar Fidyah
Ibu hamil disetarakan dengan orang-orang yang berat melaksanakan puasa, sebagaimana diketahui Al-Quran pun juga menyebut mereka dengan wahnan ‘ala wahnin (lemah yang bertambah-tambah).
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata kepada wanita yang sedang hamil dan menyusui:
انت بمنزلة الذى لا يطيقه
“Kamu kedudukannya sama dengan orang yang tidak mampu puasa.” (Tafsir Ath Thabariy, 2/899)
Ini juga dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma. (Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/206)
Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya.
Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit, dan tidak merinci bagaimanakah sakitnya. Sedangkan ayat tentang Fidyah, juga tidak dirinci.
Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Al Quran al Azhim, 1/215. Darul Kutub al Mishriyah) bahwa ada empat pandangan/pendapat ulama:
Kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus
Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy-Syafi’i, jika si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.
Kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha
Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma.
Dari kalangan tabi’in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir, Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi’ut tabi’in (murid para tabiin) seperti Al-Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha’i.
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil: Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.
Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab:
“Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum.” (Riwayat Malik )
Kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatirkan keselamatan si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.
Kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah
Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti?
Seorang ahli fiqih abad ini, Al-Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata:
وهكذا كان كثير من النساء فى الأزمنة الماضية فمن الرحمة بمثل هذه المرأة ألا تكلف القضاء و تكتفى بالفدي
ة، و فى هذا خير للمساكين وأهل الحاجة. أما المرأة التى تتباعد فترات حملها كما هو الشأن فى معظم نساء زمننا فى معظم المجتمعات الإسلامية و خصوصا فى المدن والتى قد لا تعانى الحمل والارضاع فى حياتها الا مرتين او ثلاثا، فالأرجح أن تقضى كما هو رأى الجمهور
“Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja,
di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Puasa Qadha Lebih Utama jika Kehamilan Berjarak
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, terutama di kota-kota,
kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).” (Fiqhush Shiyam, Hlm. 73-74)
Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering hamil dan selalu melalui bulan Ramadan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja.
Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam.
Tidak ada dalam sunnah secara spesifik, yg ada adalah perkataan dan ijtihad ulama sejak masa para sahabat nabi tentang ukuran fidyah.
Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
هؤلاء جميعا يرخص لهم في الفطر، إذا كان الصيام يجهدهم، ويشف عليهم مشقة شديدة في جميع فصول السنة.
“Mereka ini semuanya diberikan keringanan untuk tidak berpuasa, jika mereka sangat susah berpuasa, dan mereka mengalami kesulitan yang berat sepanjang tahun.”
وعليهم أن يطعموا عن كل يوم مسكينا، وقدر ذلك بنحو صاع أو نصف صاع، أو مد، على خلاف في ذلك، ولم يأت من السنة ما يدل على التقدير
“Maka wajib bagi mereka memberikan makanan ke org miskin tiap hari (sesuai puasa yg ditinggalkan), takarannya sekitar 1 sha’ (3 kg), atau 1/2 sha’ (1,5kg), atau 1 mud (1/4 kg),
hal ini diperselisihkan. Tidak ada dalam sunnah tentang hal ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/439)
Saya pilih pendapat 1/2 sha’, alias 1,5 kg karena ini yang paling pertengahan. Ini pendapatnya Imam Ahmad bin Hambal.
Kalangan Syafi’iyah dan Malikiyah menetapkan sangat sedikit yaitu 1 mud (0,75 kg.)
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]