ChanelMuslim.com- Pasangan suami istri adalah dua manusia biasa. Ada kelebihannya, tapi nggak sedikit kekurangannya. Kelebihan akan menambah wibawa mereka di mata anak-anak. Tapi kekurangan pun bisa menurunkannya.
Masalahnya, suami istri yang sudah menjadi ayah ibu ini, makin tua bukan makin sempurna. Sebaliknya, makin jelas serba kelemahannya. Mulai dari fisik, daya ingat, ukuran tubuh yang makin lebar atau mengecil, pandangan yang rabun, dan telinga yang kurang dengar.
Tidak terasa, memang. Karena interaksi di dunia keluarga hal yang paling mengasyikan. Sebegitu enjoynya, lampauan waktu yang lama pun terasa seperti baru kemarin. “Ah, tiba-tiba anak-anak sudah pada remaja,” begitu tiba-tiba.
Problemnya bukan soal waktu dan kesadaran lama atau cepat itu. Tapi, soal menjaga wibawa ayah ibu. Dan yang paling lebih dulu menjaga itu adalah suami istri itu sendiri.
Kalau suami bisa sabar menjaga wibawa istri, dan istri tekun menutupi kekurangan suami; anak-anak akan tetap melihat pemandangan sempurna ayah ibunya. Sampai keduanya tua sekali pun. Dengan kata lain, jangan biarkan ada celah yang memberikan peluang penurunan wibawa itu terjadi.
Berikut ini celah penampakan kekurangan yang mungkin bisa muncul, baik dari suami maupun istri. Antara lain.
Emosi yang Tak Terkendali
Siapa bilang orang tua galak berwibawa. Salah besar anggapan ini. Yang benar, orang tua galak menjadi menakutkan. Dan sesuatu yang menakutkan paling nggak enak dilihat, apalagi didekati.
Jika ayah ibu tak mampu mengelola emosi marah secara bijak, kesimpulan dari anak-anak itu akan muncul. Dan kalau hal itu terus terjadi, jangan salahkan anak-anak nggak mau mendekat. Mendekat saja nggak mau, apalagi curhat.
Gap besar ini akan menjadikan orang tua kehilangan mendapatkan pemandangan menakjubkan dari perkembangan remaja anak-anak. Keduanya seolah merasa anak-anak mereka masih bocah, padahal sudah beranjak dewasa. Sudah mulai memikirkan pasangan, hidup mandiri, konflik ego, dan lainnya. Dan sayangnya, semua momen langka itu akan terlewati begitu saja.
Syukur saja jika dinamika remaja itu tidak justru heboh di luar rumah. Karena jika itu yang terjadi, urusannya bisa berabe alias super repot. Dan, bisa berakibat fatal buat anak-anak.
Solusinya? Harus ada kepekaan suami istri saat salah satunya “naik pitam”. Jangan biarkan itu terjadi berulang. Tentu jangan di saat marahnya sedang “on”. Karena bisa-bisa, marah bisa salah alamat.
Selain itu, jangan salah satunya berada di “posisi” anak-anak tanpa kesepakatan strategi bersama. Baik dilakukan terbuka atau sembunyi. Karena hal itu akan memilah citra ayah ibu sebagai sosok baik dan buruk. Dan hal itu akan menjatuhkan wibawa salah satunya.
Yang paling parah, dan ini jangan sampai terjadi, ayah atau ibu yang emosi itu justru membuka masa lalu di antara mereka. “Kamu bandel amat sih kayak bapakmu.” Atau, “Kamu kok jadi nurunin ibumu yang suka ceroboh itu.” Atau, “Ini kenapa jadi pada parah begini sih. Ibu dan anak sama saja!” Dan lainnya.
Tunggu momen pas untuk menyadarkan anak-anak. Intinya, jangan biasakan pake cara gampang mengatur anak. Cukup dengan emosi, semua seolah terkendali. Kenapa tidak dengan bicara dari hati ke hati dengan anak-anak. Diskusi kekeluargaan. Dan lainnya. Ingat, mereka sudah bukan lagi bocah yang bisa tunduk dengan simbol jewer, pukul, atau simbol kekerasan lainnya yang diperlihatkan melalui gerak tangan.
“Kenakalan” anak-anak remaja itu wajar. Ibaratnya, mereka seperti sepeda motor baru yang melaju di jalan mulus. Apa-apa ingin ngebut dan serba cepat. Yang dibutuhkan sepeda motor saat itu bukan portal. Tapi rambu-rambu yang jelas. Dan, yang dibutuhkan untuk memahami rambu-rambu itu adalah ketenangan dan kecerdasan. Bukan ketakutan. Bersambung. (Mh)