ChanelMuslim.com- Semua suami istri tentu mendamba cinta yang selalu hidup di setiap sesi hidup mereka. Cinta yang tetap hangat di saat pengantin baru, di saat anak-anak mulai berjejer panjang dengan berbagai kebutuhannya, dan di kala cucu mulai bermunculan.
Suami istri mana yang tak ingin selalu hangat dengan cinta. Ketika senang, cinta. Di saat susah pun tetap cinta. Cinta seperti kata kunci yang selalu hadir di setiap momen hidup mereka.
Cinta juga seperti penjamin bahwa suami istri itu menjadi terikat dalam janji suci. Penjamin yang bisa memastikan bahwa suami tetap setia di saat dekat atau jauh. Dan penjamin yang juga memastikan istri tetap berada dalam orbit suami, selama dan sejauh apa pun orbit itu berada.
Memang, cinta bisa lahir dari aspek fisik saat pertama kali sinyal itu muncul. Bisa karena rupa: cantik atau ganteng, bisa karena status sosial: kaya atau pintar. Bisa juga muncul karena terkondisikan dengan seksama. Mungkin karena seringnya berjumpa, seringnya berinteraksi, dan seterusnya.
Namun, semua aspek fisik itu bukan tergolong barang awet. Ia lestari saat kurun waktu tertentu saja. Bisa sepuluh tahun, dua puluh, atau mungkin juga hanya tiga puluh tahun saja. Selebihnya, daya tarik fisik itu meluluh seiring waktu dan keadaan.
Jika cinta terpaku pada aspek yang akan luluh dan tidak awet itu, bagaimana mungkin dasar cinta seperti itu disandarkan untuk cita-cita hidup bahagia hingga kematian datang. Padahal umumnya kematian datang di saat aspek-aspek fisik itu sudah lenyap entah kemana.
Hingga, apakah setelah usia lima puluhan, cinta itu menjadi wajar memudar. Apakah ketika cantik atau ganteng itu sudah layu, maka cinta itu menjadi logis untuk dikurangi hingga dilupakan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam pernah menasihati, cintailah pasanganmu bukan semata-mata karena wajah, status sosial; tapi cintailah karena agamanya.
Inilah nasihat luar biasa yang terkesan sederhana tapi menjadi resep yang selama ini dicari-cari banyak orang yang mendamba hidup bahagia. Sayangnya, resep ini pula yang larut dalam arus zaman yang dimotori semangat kebebasan. Termasuk, kebebasan memilih siapa yang pantas menjadi jodohnya.
Tidak ada yang larut dari modal agama. Tidak ada yang surut dari modal agama. Yang muda akan tiba menjadi tua. Yang pandai akan tiba menjadi pikun. Yang terpandang akan tiba menjadi tersisih. Tapi agama, ia akan terus berkembang dan tidak mengenal surut dan larut.
Agama dalam arti pemahaman dan perilaku yang melekat dalam diri seseorang. Bukan agama yang terbungkus dalam bingkai investasi materi sesaat.
Fisik itu Semangat Menerima, Agama itu Kegairahan Memberi
Bayangkan ketika kita akan memilih jodoh. Terpampanglah berbagai pilihan yang dipersilakan untuk kita tentukan. Saat itulah, naluri manusia kita akan merujuk pada segala yang memuaskan secara materi: rupa, status sosial, dan sejenisnya.
Kalau pun dengan embel-embel agama, terbingkai kembali pada kepuasan materi: misal berapa kali dia sudah umroh, haji, bagaimana prospek pendidikan agamanya akan menjadi menguntungkan perolehan materi di kemudian hari. Dan seterusnya.
Dengan kata lain, semua aspek materi itu lahir dari harapan untuk memperoleh kepuasan dari pasangan kita. Ada banyak harapan bahwa pasangan akan memuaskan kita dengan aspek-aspek materi itu.
Jadi, cinta yang didasari dari aspek itu lahir dari harapan-harapan untuk bisa menerima dari pasangan. Suami mencintai istri karena berharap mendapatkan dari istri. Dan, istri mencintai suami karena juga mengharapkan berbagai kepuasan itu dari suami.
Lalu, bagaimana mungkin cinta akan lestari dan berbuah bahagia jika masing-masing pihak mendasari cintanya karena semangat untuk menerima. Padahal cinta adalah perwujudan dari rahmat Allah subhanahu wata’ala yang sedikit pun tidak mendasari pancaran cahayanya untuk mengharapkan sesuatu dari alam raya ini. Seratus persen karena ingin memberi.
Di situlah letaknya rahasia cinta yang lestari. Karena tidak ada spirit apa pun di dunia ini yang tulus untuk memberi selain karena didasari pemahaman dan perilaku yang kompatibel dengan ajaran agama. Karena dalam agama, memberi itu bukan sekadar memuaskan objek, tapi lebih karena ingin memperoleh ridha yang memerintah untuk memberi.
Dan Islam mengajarkan, siapa yang semangat memberi, Allah akan mengganti dengan berkali lipat ganti, dunia dan akhirat. Sebaliknya, siapa yang hanya bersemangat menerima, hidupnya akan berujung dengan kecewa.
Buat dan bulatkan cinta dalam bingkai kesalehan kita. Karena dengan begitulah, cinta bukan hanya terus memuaskan objek yang menerima; melainkan juga menjadi ridha dari Yang Memerintah: Allah Subhanahu Wata’ala.
Cinta seperti itulah yang akan lestari. Bukan sekadar ketika suami istri sudah tidak lagi punya gigi. Tapi akan terus berlanjut di kehidupan berikutnya nan abadi.
Apa Adanya, bukan Ada Apanya
Cinta apa adanya adalah ketulusan. Ia tergerak karena niat mulia yang beranjak dari luar aksesoris fisik objek yang ada. Yaitu beranjak karena Allah subhanahu wata’ala.
Apa adanya bukan berarti minimalis atau pasrah tanpa ruang pilihan. Apa adanya lahir karena ridha dengan yang sudah Allah pilihkan sebagai jodohnya. Ketulusan inilah yang mengangkat segala kepicikan mata zahir untuk digantikan dengan mata batin. Dan hal itu diperkuat dengan keyakinan bahwa ridha kepada apa yang Allah putuskan akan berbuah berkah.
“…boleh jadi sesuatu yang kamu tidak suka, padahal ia baik untukmu. Dan boleh jadi, sesuatu yang kamu suka, padahal ia buruk untukmu. Allah Maha Mengetahui sementara kamu tidak mengetahui.” (QS. Albaqarah)
“…Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (QS. Annisa: 19)
Wallahu a’lam bishowab. (Mh)