ChanelMuslim.com – Kisah seorang Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Rifky Wicaksono, S.H., MJur (Dist.)., LL.M., yang pernah gagal dalam Ujian Nasional (UN) ketika SMA ini bisa kita jadikan inspirasi.
Kegagalannya dalam UN tidak membuat Rifky patah semangat dalam menuntut ilmu.
Baca Juga: #RamadanKomunitas, KAMIL UNINDRA Sukses Gelar Kalimat 2019
Gagal UN Menjadi Titik Balik Kehidupan
Dilansir dari ugm.ac.id Kamis, (10/6/2021) saat itu, Rifky terlalu terlena menyiapkan diri mengikuti lomba debat internasional.
Oleh sebab itu, ia lengah untuk terus belajar, berjuang, dan bekerja keras mempersiapkan UN.
Namun, kegagalan ini justru menjadi titik balik kehidupannya.
“Gagal UN waktu itu menjadi salah satu titik balik kehidupan saya.
Saya belajar bahwa kesuksesan tidak bisa instan dan hanya mengandalkan bakat.
Perjuangan kita saat menjalani proses itu ternyata lebih penting,” tuturnya.
Rifky pun bekerja lebih keras sampai bisa masuk Fakultas Hukum (FH) UGM pada tahun 2010 dan berhasil lulus pada tahun 2014 dengan IPK yang nyaris sempurna yaitu 3,95.
Baca Juga: Serial Muslim Jepang #1, Islam Itu Menjadikan Hidup Lebih Mudah
Dosen UGM yang Lulus di Oxford dan Harvard University
Setelah lulus, Rifky bekerja di firma hukum ternama Assegaf Hamzah and Partners.
Setelah bekerja selama satu tahun, Rifky memutuskan untuk menjadi asisten dosen di FH UGM.
Baru setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di Oxford University pada 2016.
Ia menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar Magister Juris dari University of Oxford pada 2017 melalui beasiswa Jardine Foundation.
Di kampus tersebut, ia juga mengharumkan nama bangsa Indonesia dengan meraih penghargaan Distinction yang merupakan predikat akademik tertinggi untuk studi master hukumnya.
Setelah dari Oxford, Rifky menjadi dosen tetap di UGM dan melanjutkan pendidikannya di Harvard pada 2020.
Di sana, ia tidak hanya sekadar lulus, tetapi juga berhasil mengantongi dua penghargaan Dean’s Scholar Prize karena mendapatkan nilai tertinggi untuk dua mata kuliah, yaitu Mediation dan International Commercial Arbitration.
Selain itu, ia juga mendapatkan predikat Honors untuk tesisnya yang merumuskan ‘theory of harm’ baru untuk hukum persaingan usaha Indonesia dalam menganalisis merger di pasar digital.
Hal luar biasa lainnya adalah Rifky menyelesaikan magisternya hanya dalam waktu 10 bulan.
“Alhamdulillah, sangat bersyukur bisa menyelesaikan studi dalam waktu 10 bulan dan wisuda kemarin Mei,” kata Rifky.
Baca Juga: UGM Bertekad Cetak Pemimpin Muslim moderat Melalui Masjid Mardliyyah
Perjuangan yang Tidak Mudah
Penghargaan-penghargaan yang didapatkan tidaklah mudah untuk diraih.
Hal terberat yang dirasakannya ketika harus kuliah daring saat berkuliah di Harvard University adalah adanya perbedaan waktu yang cukup besar antara Indonesia dengan Amerika sekitar 11-12 jam.
Oleh sebab itu, mau tidak mau ia harus menyesuaikan diri mengikuti waktu perkuliahan di Amerika.
Contohnya adalah jadwal kuliah pagi jam 10, berarti di Indonesia waktunya jam 9 malam.
Kuliah sore jam 5, maka di Indonesia jam 4 pagi.
Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa karena harus bergelut dengan perbedaan waktu yang mengubah pola kerja dan tidur.
Selain itu, beban kuliah di Harvard cukup tinggi.
Bacaan wajib mahasiswa setiap minggunya sekitar 300-400 halaman.
Dari kisah Rifky ini, kita bisa mengambil pelajaran bahwa kegagalan pada titik tertentu bukan menjadi akhir untuk segalanya.
Kita masih bisa sukses apabila terus belajar dan berjuang. [Cms]