PENDIDIKAN di Jepang membuat orang bingung? Ketua Hikari Parenting School Hifizah Nur, S.PSi., M.Ed. menceritakan pengalamannya ketika menuntut ilmu di Jepang.
Masjid Hamamatsu, Sabtu siang. Sepi. Hanya saya, Aliyah san dan tiga orang anaknya yang lincah dan lucu-lucu, yang memecahkan keheningan masjid dengan candaan kami.
Saya dan Aliyah san bertemu secara rutin sebulan sekali untuk belajar al-qur’an dan berdiskusi tentang Islam.
Aliyah san seorang muslimah Jepang yang merasa tenang setelah memeluk Islam dan berkeluarga dengan orang Indonesia.
“Aliyah san, menurut kamu sistem pendidikan di Jepang bagaimana sih?” tanya saya.
Saya memang sangat tertarik dengan sistem pendidikan di sini. Pendidikan dasarnya sangat bagus untuk membentuk perilaku anak menjadi disiplin, suka bekerja keras dan mandiri.
Aliyah san sudah cukup lama mengenal saya, dan akhir-akhir ini kami menjadi akrab karena sering mengaji bareng di Masjid Hamamatsu.
Ia tahu ketertarikan saya untuk mendalami bidang pendidikan suatu saat nanti.
“Sistem pendidikan Jepang sudah jauh berbeda dari waktu saya bersekolah dulu,” tuturnya sambil sibuk memakaikan kaus kaki dan membereskan bekal makan siang kami.
“Dulu, ajaran semua harus sama, tidak boleh ada yang menonjol, diberlakukan dengan sangat ketat, namun sekarang agak lebih longgar. Mungkin karena sudah banyak orang asing yang datang ke Jepang,” katanya.
Semua perlengkapan makan sudah selesai dibereskan, ia kembali duduk di hadapan saya.
“Selain itu, menurut saya sistem pendidikan di Jepang banyak membuat orang bingung. Pendidikan sudah menjadi seperti pola yang wajib diikuti. Misalnya SD, SMP, SMA lalu kuliah. Setelah itu bekerja,” lanjutnya.
“Tapi tujuannya sendiri tidak jelas. Banyak orang yang bingung, sebenarnya untuk apa kita hidup di dunia,” Aliyah san terdiam sejenak.
”Setelah masuk Islam, saya baru memahami misi hidup saya,” ujarnya.
Sayang sekali, saat itu kami tidak bisa berbincang lebih jauh, karena hari sudah menjelang petang dan kami harus segera pulang ke rumah.
Baca Juga: Kurikulum Pendidikan yang Sempurna
Pendidikan di Jepang Membuat Orang Bingung
Entah mengapa percakapan itu masih terus membekas dalam ingatan saya sampai saat ini.
Seingat saya bukan hanya di Jepang, di Indonesia pun sama. Yang saya pelajari sejak SD, SMP sampai SMA adalah cabang-cabang ilmu.
Matematika, IPA, IPS, Pendidikan Moral, sejarah, semua bisa membantu seseorang untuk menjadi cerdas dan banyak tahu berbagai hal.
Kemudian setiap orang diarahkan untuk mendalami ilmu tertentu dan menjalani profesi tertentu.
Namun akarnya sendiri, yaitu pertanyaan mendasar yang harus dijawab, tidak diajarkan kecuali sekilas saja dalam pelajaran agama Islam.
Untuk apa saya hidup? Mengapa saya diciptakan? Siapa yang menciptakan saya? Kalau sudah mati, saya akan ke mana?
Semua pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mungkin terlupa karena terlalu sibuk mengurusi cabang-cabang ilmu.
Semakin dewasa, semakin terlupa karena sibuk berkarir dan mengurusi kebutuhan rumah tangga. (mungkin bukan lupa kali ya, tetapi karena pertanyaan itu dianggap tidak penting).
Karena saya jurusan sosial, di kampus, dulu saya sempat belajar filsafat.
Di sana dibahas berbagai macam hasil pemikiran tokoh-tokoh yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Namun sampai saat ini, belum ada yang bisa menjawabnya dengan memuaskan.
Terlepas dari semua teori-teori itu, saya sendiri dengan mudah bisa mendapatkan jawabannya di dalam al-qur’an.
Bahwa kita diciptakan Allah untuk beribadah kepadanya. beribadah dalam bentuk khusus, seperti sholat, puasa dan ritual lainnya, juga beribadah dalam bentuk umum.
Melakukan kebaikan kepada diri dan sesama, menggali potensi diri kita agar semakin bermanfaat untuk lingkungan, bersama-sama membangun masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera adalah salah satu bentuk ibadah.
Lalu ketika kita mati, semua yang dilakukan dalam hidup kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Ada sistem reward dan punishment yang sengaja disiapkan Allah agar kita selalu menjaga perilaku kita selama di dunia.
Alhamdulillah, dengan dasar inilah saya bisa menjalani hidup ini dengan tenang. Dan terpacu untuk semakin baik dari waktu ke waktu.
Terkadang ada gejolak, tapi biasanya kembali tenang setelah kembali kepada visi-misi hidup.
Hmm…mungkin itu juga yang sudah dipahami oleh Aliyah san. Mungkin ia juga melihat banyak kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem pendidikan Jepang sehingga menghasilkan masyarakat yang timpang.
Kasus bunuh diri yang tinggi di Jepang, kasus ijime (bullying) yang menghantui dunia pendidikan Jepang.
Manusia yang sangat individualistik, tidak peduli dengan orang lain, serta budaya materialistik yang tinggi, belum bisa terpecahkan sampai saat ini.
Beberapa tahun lalu, ketika saya sedang menjalani sekolah bahasa, terjadi kasus percobaan pembunuhan di depan salah satu stasiun di Tokyo.
Seorang yang diduga stres karena dipecat dari pekerjaannya, mencoba membunuh orang-orang yang baru keluar dari stasiun.
Ketika ekonomi jepang menurun beberapa tahun terakhir, kasus ini beberapa kali terjadi selain kasus bunuh diri yang meningkat tajam.
Kasus ini ramai dibicarakan di media, bahkan terbawa ke dalam diskusi di kelas bahasa Jepang saya.
Sensei saya saat itu berkata, “Sepertinya agama memang penting ya. Kalau kita beragama, pasti kita tidak mudah stres dan bunuh diri dalam hidup ini.”[ind]