IBU para ulama yang juga single fighter ini hari-harinya disibukan dengan memenuhi kebutuhan hidup dan mengasuh anak. Ada keteladanan dalam diri mereka yang patut kita contoh.
Menjadi seorang single mother bukanlah perkara mudah. Apalagi jika telah hadir anak dalam kehidupannya.
Berikut adalah para single mother yang bisa kita jadikan teladan.
Mencari Teladan dari Ibu Para Ulama yang Juga Single Fighter
Dalam kesendiriannya, mereka berhasil melahirkan orang-orang hebat yang ilmunya hingga sekarang menjadi panduan kita untuk beribadah.
1. Ibu Imam asy-Syafi’i
Ayah Imam asy-Syafi’i wafat dalam usia muda. Ibunyalah yang membesarkan, mendidik, dan memperhatikannya hingga kemudian Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menjadi seorang imam besar.
Ibunya membawa Muhammad kecil hijrah dari Gaza menuju Mekah.
Di Mekah, Muhammad mempelajari Alquran dan berhasil menghafalkannya saat berusia 7 tahun. Kemudian sang ibu mengirim anaknya ke pedesaan yang bahasa Arabnya masih murni.
Tak heran, bahasa Arab pemuda Quraisy ini pun jadi tertata dan fasih.
Setelah itu, ibunya memperhatikannya agar bisa berkuda dan memanah. Jadilah ia seorang pemanah ulung. 100 anak panah pernah ia muntahkan dari busurnya, tak satu pun meleset dari sasaran.
Dengan taufik dari Allah Subhanahu wa taala yang memberikan kecerdasan dan kedalaman pemahamannya, saat beliau baru berusia 15 tahun, Imam asy-Syafi’i sudah diizinkan Imam Malik untuk berfatwa.
Hal itu tentu tidak terlepas dari peranan ibunya yang merupakan seorang muslimah yang cerdas dan pelajar ilmu agama.
Imam asy-Sayfi’i bercerita tentang masa kecilnya,
“Aku adalah seorang anak yatim. Ibukulah yang mengasuhku. Namun ia tidak memiliki biaya untuk pendidikanku. Aku menghafal Al quran saat berusia 7 tahun.
Dan menghafal (kitab) al-Muwaththa saat berusia 10 tahun. Setelah menyempurnakan hafalan Al quranku, aku masuk ke masjid dan duduk di majelisnya para ulama.
Kuhafalkan hadits atau suatu permasalahan. Keadaan kami di masyarakat berbeda, aku tidak memiliki uang untuk membeli kertas. Aku pun menjadikan tulang sebagai tempat menulis”.
Ibu Imam Syafi’i bekerja mengumpulkan kulit dan menyamaknya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
Walaupun memiliki keterbatasan materi, ibu Imam asy-Syafi’i tetap memberi perhatian luar biasa terhadap pendidikan anaknya.
Baca Juga: Belajar untuk Tidak Menyerah dari JK Rowling
2. Ibu Imam Ahmad bin Hanbal
Ibu Imam Ahmad bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Ayahnya wafat di usia muda, 30 tahun.
Ibunya pun hidup menjanda dan enggan menikah lagi, walaupun usianya belum mencapai 30 tahun. Ia hanya ingin fokus memenuhi kehidupannya untuk anaknya.
Buah usahanya adalah yang kita tahu saat ini. Imam Ahmad menjadi salah seorang imam besar bagi kaum muslimin. ia adalah imam mazhab yang empat. Semoga Allah merahmati ibu Imam Ahmad.
3. Ibu Imam al-Bukhari
Imam al-Bukhari tumbuh besar sebagai seorang yatim. Ibunyalah yang mengasuhnya. Ibunya mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.
Mengurus keperluannya, mendoakannya, dan memotivasinya untuk belajar dan berbuat baik.
Saat berusia 16 tahun, ibunya mengajak Imam al-Bukhari bersafar ke Mekah. Kemudian meninggalkan putranya di negeri haram tersebut.
Tujuannya agar sang anak dapat menimba ilmu dari para ulama Mekah. Dari hasil bimbingan dan perhatian ibunya, jadilah Imam al-Bukhari seperti yang kita kenal saat ini.
Seorang ulama yang gurunya pernah mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih hebat darinya (dalam ilmu hadits)”.
Seorang ibu, baik sendiri maupun masih bersuami harus mempunyai visi dan tujuan yang jelas tentang pendidikan anak-anaknya.
Menjadi ibu memang menjadi al madrasatul’ula, sekolah pertama bagi anak-anak. Sekolah pertama yang akan menanamkan akhlak, adab dan keteguhan ke dalam jiwa anak.
Sabar, teguh dan istiqomah sebagai jalan yang harus ditempuh.
Dan modal utamanya adalah keyakinan kepada Allah Subhanahu wa taala yang Maha Perkasa lagi Maha Lembut yang akan senantiasa memberi pertolongan dan perlindungan. [Maya/ind]