ChanelMuslim.com- Apa yang kita pikirkan saat shalat? Macam-macam. Termasuk kunci yang hilang dan akhirnya ketemu.
Khusyuk itu artinya tunduk. Menundukkan hati untuk fokus hanya kepada Allah. Bahwa, Dialah yang Maha Besar, Agung, Kaya, dan Bijaksana. Semua kebesaran Allah tergambar dalam hati.
Ucapan yang kita keluarkan dalam shalat adalah rembesan dari suara hati. Hati yang tunduk sempurna. Hati yang berzikir. Dan, hati yang mengakui semua khilaf dan dosa.
Gerakan fisik adalah penyempurna dari gerakan hati yang seperti gerakan melingkar berpusat pada Allah. Tak ubahnya seperti Thawaf di putaran Ka’bah.
Termasuk dalam rangkaian zikir itu adalah ampunan dan doa. Karena secara bahasa, shalat berarti doa. Sebuah ungkapan kekerdilan diri saat berhadapan dengan Yang Maha Segalanya. Yang kasih dan sayangNya tak terbilang.
Tergambar pula kelemahan diri di dunia yang serba kuat. Tergambar pula kefakiran diri dalam dunia yang seolah mampu menawarkan segalanya.
Lontaran hati dalam zikir dan doa tidak ditujukan untuk mengakui betapa kuat dan menariknya dunia. Tapi mengharapkan bantuan dan bimbingan Allah agar diri bisa selamat dari tarikan dan tipuan dunia.
Segala kekuatan, ketakjuban, ketakutan dari variabel dunia ini menjadi luruh seketika dalam lantunan zikir dan pujian kepada Allah.
“Allahu Akbar!” suara itu menegaskan kembali apa yang telah disepakati hati di setiap rukun shalat. Bahwa, Allah Maha Besar. Yang lainnya kecil dan besarnya hanya fatamorgana.
Berada dalam rengkuhan yang Maha Besar, Kuat, Kaya, dan Bijaksana; seolah menenggelam diri dan hati dalam keasyikan di dunia lain yang menyejukkan dan menenangkan. Shalat seolah membawa kita dalam dunia di atas dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengisyaratkan panggilan shalat kepada Bilal dengan perkataan, Arihna ya Bilal bisholah. Istirahatkan kita, wahai Bilal, dengan shalat.
Saat itu, shalat tak ubahnya seperti media peristirahatan jiwa. Istirahat dari licik dan piciknya kehidupan dunia. Istirahat dari berbagai target kezaliman, kejahatan, dan kekejaman kehidupan dunia. Istirahat untuk menenangkan hati kembali ke titik asalnya: fitrah.
Pertanyaannya, seperti itukah shalat kita? Potret kita mungkin tidak sebaik yang didambakan. Karena halte-halte waktu shalat kita bergantung dengan suasana hati yang ada. Apalagi kalau bukan dunia yang memicu wujud suasana itu.
Shalat menjadi seperti gerakan tanpa makna. Ucapan tanpa cerna. Kosong. Yang terlintas hanya kilasan dunia yang baru saja kita tinggalkan. Yang kemudian kembali lagi dan minta untuk dilanjutkan dan dituntaskan.
Kita pun akhirnya lupa sudah berapa rakaat shalat kita. Bahkan kadang, kita juga lupa sedang melaksanakan shalat apa.
Dunia yang tiba-tiba hadir lagi dalam shalat kita dan meminta untuk kembali dilanjutkan dan dituntaskan menggesa kita untuk tidak berlama-lama dalam shalat. Oh, iya, aku harus melakukan ini. Oh, iya, yang ini belum selesai. Dan seterusnya.
Betapa lelahnya hati yang harus terus diikat dunia di saat istirahatnya. Betapa lelahnya pikiran yang terus terkungkung dunia di saat momen kejernihannya.
“Ya Allah, bantu kami dalam zikirMu, dalam mengungkapkan rasa syukur padaMu, dan dalam bagusnya mutu ibadah kepadaMu.” [Mh]