ISLAM itu mengatur hal yang pokok dan cabang. Dan biasanya hal tentang cabang itu banyak dan bervariasi.
Ada dua perwakilan kelompok yang menemui seorang ulama. Dua perwakilan itu rupanya sedang mempersoalkan mana shalat tarawih yang paling sesuai dengan ajaran Nabi.
“Menurut kami, tarawih yang nyunnah itu jumlah rakaatnya sebelas,” ucap seorang perwakilan.
“Tidak. Menurut kami yang nyunnah itu dua puluh tiga,” ucap yang lain.
Di hadapan ulama itu, kedua perwakilan itu pun saling menunjukkan masing-masing dalil yang mereka yakini. Sedemikian semangatnya, hampir saja keduanya berkelahi.
Akhirnya, ulama itu berujar, “Yang kalian semangat perdebatkan itu perkara sunnah. Sementara perkara wajibnya kalian abaikan.”
Keduanya terkejut. “Maksud Ustaz?” ucap keduanya.
“Shalat tarawih itu hukumnya sunnah. Apalagi tentang jumlah rakaatnya. Sementara persatuan umat itu sangat wajib untuk ditegakkan. Tapi, justru yang wajib itu yang kalian abaikan,” ucap sang ulama.
Kedua perwakilan itu pun terdiam. Mereka seperti memahami hal yang selama ini terlupakan. Yaitu, persatuan umat yang harus diutamakan. Karena, itu merupakan salah satu ajaran pokok Islam.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara…” (QS. 49: 10)
Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Tidaklah sempurna iman di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan dalam memandang ajaran Islam itu lumrah. Terlebih lagi tentang cabang-cabang dari Islam yang begitu banyak.
Dalam sejarah, setidaknya ada empat mazhab fikih. Yaitu, mazhab Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali.
Jangan bayangkan keempat tokoh ini orang yang berjauhan satu sama lain. Apalagi orang-orang yang saling bermusuhan. Sama sekali tidak.
Bahkan, keempatnya ini saling belajar satu sama lain. Seperti Imam Syafi’i yang belajar dengan Imam Malik, dan Imam Hambali yang belajar dengan Imam Syafi’i.
Jangan bayangkan pula mereka belajar satu sama lain hanya sepekan atau sebulan. Melainkan dalam hitungan tahun.
Jadi, perbedaan pendapat para ulama dalam hal cabang ajaran Islam merupakan suatu yang lumrah. Keempatnya tidak pernah ada kabar sejarah yang mengatakan saling bermusuhan. Mereka saling menghormati satu sama lain.
Kenapa? Karena mereka berbeda pendapat dengan dalil-dalil yang mereka miliki. Mereka berbeda dengan argumentasi ilmu. Bukan emosi, apalagi semangat untuk saling menjatuhkan.
Satu hal yang paling mereka pegang adalah adab dan akhlak melampaui dalil-dalil pengetahuan. Jadi, sejauh apa pun perbedaan argumentasi di antara mereka tentang cabang ajaran Islam, mereka tetap saling bersaudara, saling menghormati, dan saling mencintai satu sama lain.
Yang susah itu jika yang paling semangat merasa paling benar adalah mereka yang tidak punya ilmu. Ketika ditanya kenapa pendapatnya dirasa paling benar, ia mengatakan, karena guru saya mengatakannya begitu.
Saling bertoleransilah dalam hal yang berbeda. Tapi tetap bersama dalam hal yang disepakati. Yaitu, persaudaraan sesama umat Islam. [Mh]