MULIA itu keadaan istimewa dari seseorang. Tapi berhati-hatilah, tanpa ikhlas, kemuliaan sangat semu.
Khazanah Islam di antara para mufasirin menyebutkan sebuah sosok yang tragis. Ia pernah begitu sangat mulia, agung, tekun ibadah, alim, dan sangat dihormati para malaikat.
Namanya Azazil. Arti nama ini selaras dengan kemuliaannya. Puluhan ribu tahun ia beribadah kepada Allah. Puluhan ribu tahun ia thawaf di Baitul Ma’mur.
Ia punya julukan yang luar biasa. Di langit pertama sebagai ahli ibadah, di langit kedua sebagai ahli ruku’, di langit ketiga sebagai ahli sujud, di langit keempat sebagai yang selalu merendah dan takut kepada Allah, di langit kelima sebagai yang selalu taat, di langit keenam sebagai yang selalu bersungguh-sungguh beribadah, dan di langit ketujuh sebagai yang paling zuhud.
Namun, di balik kemuliaan itu tersimpan kerentanan karakter yang fatal. Ia tak mau memberikan penghormatan kepada makhluk sangat ‘junior’ yang bernama Adam alihissalam. Padahal itu diperintah oleh Allah subhanahu wata’ala.
Allah Yang Maha Agung bertanya, “Kenapa kamu tidak mau memberikan penghormatan kepada Adam?” Azazil menjawab, “Aku lebih baik darinya. Aku diciptakan dari api, sementara dia dari tanah.”
Karena pembangkangan itu, Allah mengusirnya dari surga, melaknatnya dan menyebutnya sebagai Iblis. Ia yang dulunya pemimpin para malaikat yang mulia, terlaknat menjadi pemimpin setan yang durjana. Na’udzubillah min dzalik.
**
Kisah ini menjadi pelajaran luar biasa buat kita semua. Berbagai kemuliaan apa pun yang tersematkan pada kita harus selalu disikapi dengan keikhlasan. Bukan karena kitanya yang istimewa, tapi karena Allah yang menganugerahkannya pada kita.
Jangan pernah sombong dengan kemuliaan apa pun. Karena inilah yang bisa menggelincirkan kita ke jurang kehinaan. Mulianya seseorang karena ia selalu memuliakan orang lain. Bukan sebaliknya. [Mh]