BERUBAH itu sebuah kemestian. Itulah yang terjadi di alam dan jasad kita sendiri. Karena itu, paksakan mutu diri juga berubah.
Kalau kita menengok jauh ke belakang, begitu banyak perubahan sudah terjadi. Dahulu masih anak-anak, sekarang sudah punya anak. Dahulu imut-imut, sekarang sudah amit-amit.
Begitu pun dengan yang di sekitar kita. Sarana hidup berubah. Teknologi makin maju. Lingkungan rumah tak lagi hanya kebon yang sepi, dan seterusnya.
Pertanyaannya, bagaimana dengan mutu diri sendiri? Apakah kita yang dahulu sudah berubah menjadi yang lebih baik dan maju.
Perubahan itu tentang mutu diri. Tentang keilmuan, tentang kedewasaan, tentang akhlak, tentang keterampilan, tentang ruhani atau keimanan, dan cara pandang kita tentang hidup.
Dengan kata lain, kita harus selalu naik kelas kehidupan. Kita yang sekarang bukan lagi kita yang dahulu dari segi mutu.
Dalam hadis riwayat Al-Hakim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membagi tiga kriteria: orang yang beruntung, orang yang merugi, dan orang yang celaka.
Apa artinya? Orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari kemarin. Yang merugi adalah yang hari ini sama dengan kemarin. Dan yang celaka adalah hari ini lebih buruk dari kemarin.
Nabi menyelaraskan mutu diri dengan perubahan waktu. Hal ini karena waktu punya nilai yang luar biasa. Jika waktu terlewat, berapa pun jumlah uang tak akan mampu mengembalikannya.
Dalam waktu ada ruang kesempatan. Itulah anugerah Allah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan keputusannya ada pada diri kita sendiri. Mau dimanfaatkan, atau dilewatkan begitu saja.
Jangan sampai kesadaran untuk berubah sudah telat. Sulit rasanya ingin banyak membaca di saat mata sudah rabun. Repot jadinya ingin banyak hafalan di saat sudah pikun. Susah rasanya ingin meraih banyak keterampilan di saat otot sudah rapuh. Dan yang lebih parah, rugi rasanya ingin banyak sedekah di saat ajal sudah menjelang.
Waktu yang sudah lewat tak bisa diulang. Kesempatan hanya ada di hari ini atau esok. Yang kemarin, sekali lagi, tak akan bisa diulang.
Mumpung ada waktu dan kesempatan, paksakan ada perubahan. Jangan tanyakan nafsu mau berubah atau tidak. Karena sifat nafsu tak ingin ada paksaan. Tak mau melawan hambatan. Ia akan selalu kompromi dengan kenyamanan, bukan tantangan. [Mh]