WANITA umumnya identik dengan rumah dan anak-anak. Lembut, cantik, dan menahan diri. Tapi, wanita mulia ini justru berani melawan kezaliman.
Namanya Fathimah binti Husein bin Ali radhiyallahu ‘anhum. Ia juga cucu dari putri bungsu Rasulullah: Fathimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha.
Para ahli sejarah mengatakan bahwa fisik dan pembawaan Fathimah sangat mirip dengan neneknya: Fathimah, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia seperti ‘mengambil’ seratus persen dari neneknya.
Fathimah lahir pada sekitar tahun 47 hijriyah. Sebuah masa yang begitu ‘pahit’ dalam kekuasaan Islam. Banyak yang terbunuh, termasuk keluarga besarnya: ayahandanya, saudara laki-lakinya, sepupunya, dan lainnya dalam peristiwa getir di sebuah tempat bernama Karbala.
Anak-anak kecil dan para wanita yang ikut serta dalam rombongan itu selamat. Termasuk dirinya.
Apa karena peristiwa itu ia menjadi trauma dan penakut? Sebaliknya, Fathimah justru menjadi lebih tegar dan berani. Bahkan, ia sempat berpidato di hadapan kaum yang mengkhianati keluarganya dengan nada keras.
Sebegitu jelasnya keberanian itu, datang dari seorang wanita yang begitu mirip dengan putri Rasulullah, tak seorang pun dari mereka yang berani menentang, bahkan sekadar bersuara.
Masa pun berlalu ketika suaminya sudah meninggal dunia. Ia membesarkan sendiri anak-anaknya. Ia menegaskan untuk mewakafkan dirinya untuk pendidikan anak-anaknya. Ia tak ingin menikah lagi.
Ada seorang Gubernur Madinah dari kekhalifahan yang berkuasa saat itu: Dinasti Umayyah, wilayah di mana Fathimah tinggal, bersemangat untuk melamarnya. Nama gubernur itu Abdurrahman bin Ad-Dhahak.
Entah apa yang memotivasi si gubernur sehingga begitu bersemangat menikahi Fathimah. Padahal, anak-anak Fathimah sudah besar.
Fathimah menyatakan penolakannya. Ia tegaskan bahwa ia tidak mau menikah lagi dengan siapa pun karena ingin fokus mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Namun si gubernur mengancam akan memenjarakan putra Fathimah dengan tuduhan rekayasa.
Akhirnya, Fathimah berkonsultasi dengan beberapa tokoh di Madinah di antaranya Salim bin Abdullah bin Umar bin Khaththab atau cucu Umar bin Khaththab.
Fathimah mendapatkan arahan untuk mengirimkan surat laporan tidak menyenangkan terhadap sang gubernur. Surat itu ditujukan ke Khalifah di Damaskus.
Bukan itu saja. Fathimah juga mengirimkan pesan secara lisan kepada seorang pejabat keuangan Madinah yang kebetulan sedang dipanggil oleh khalifah. Sang pejabat merasa menyesal karena bersedia mendengarkan pesan ‘berat’ dari Fathimah itu. Karena hal itu akan berisiko dengan jabatannya sendiri.
Setibanya di Damaskus, di istana khalifah, pejabat Madinah itu tiba lebih dahulu dari surat yang disampaikan oleh utusan khusus dari Fathimah.
Khalifah Yazid bin Abdul Malik menanyakan apakah ada yang ingin dilaporkan tentang Madinah. Tapi, pejabat Madinah itu diam saja.
Tak lama, datang utusan Fathimah yang membawa surat ke Khalifah. Setelah membaca, khalifah marah besar. Khalifah juga memarahi si pejabat keuangan Madinah karena dianggap menyembunyikan hal besar dari Madinah.
Atas laporan itu, sang gubernur Ibnu Dhahak dipecat dan dipenjara.
**
Begitulah anak, cucu, dan cicit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka seperti tersambung satu sama lain dalam sebuah rangkaian barisan besar para mujahid. Pria dan wanita.
Wanita memang begitu dekat dengan dunia rumah dan anak-anak. Tapi, hal itu tak berarti menghilangkan ruhul jihad, semangat berjuang, untuk melawan kezaliman.
Sekali kezaliman didiamkan, maka ia akan menjadi sebuah kelaziman yang dibiarkan. Lawan dan luruskan, meski dilakukan oleh seorang wanita yang dianggap lemah tak berdaya. [Mh]





