PERGI menunjukkan perpindahan tempat ke lokasi tertentu. Jika disebut pergi untuk selamanya, berarti perpindahannya abadi.
Kita sering menyebut orang yang wafat dengan istilah ‘telah pergi’. Berbeda dengan pergi seperti umumnya, ‘pergi’ di sini yang berpindah bukan fisiknya, tapi ruhnya.
Kata ‘pergi’ menunjukkan bahwa tempat tinggalnya di rumah yang ia tinggali sebelumnya. Atau ‘pergi’ berarti meninggalkan tempat asalnya. Dan kata wafat berarti pergi yang tak pernah kembali lagi atau selamanya.
Yang menjadi pertanyaan, yang pergi itu jasadnya atau ruhnya? Kalau yang pergi termasuk jasadnya mungkin bisa dibenarkan. Karena jasad kita memang berasal dari bumi.
Dalam cakupan yang sempit, bisa berarti bumi Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan lainnya. Dalam cakupan yang luas mungkin seperti astronot yang disebut pergi ke bulan. Hal ini karena ia meninggalkan bumi.
Namun jika yang berpindah itu ruhnya, rasanya kata pergi tidak tepat. Hal ini karena ruh semua kita memang bukan berasal dari bumi. Tapi dari Allah subhanahu wata’ala.
Ruh yang ada di kita didatangkan oleh Allah melalui perantara malaikat yang memasukkannya ke perut ibu kita saat semua kita berumur 4 bulan dalam kandungan.
Saat jatah bersatunya ruh dan jasad itu telah habis, maka ruh pun ditarik kembali. Karena itulah, istilah yang tepat bukan ‘pergi’, tapi kembali.
Islam menyebutnya dengan kembali, bukan pergi. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rojiun. Kita milik Allah dan akan kembali kepada Allah.
Jadi, jasad hanya casing saja, diri kita sebenarnya adalah ruh itu sendiri. Karena itulah Rasul menyebut bahwa Allah tidak memandang fisik kita, yang dipandang Allah adalah hati kita.
Jadi, pada hakikatnya, semua kita bukan asli penduduk bumi ini. Kita hanya ‘ditumpangkan’ di bumi ini untuk sejenak saja. Di situlah kita diuji siapa yang terbaik iman, amal, dan takwanya.
Ketika orang tua, saudara, sahabat, tetangga yang pernah hidup bersama kita telah wafat, pada hakikatnya mereka telah kembali kepada Allah. Kembali untuk selamanya, setelah tinggal sejenak di bumi ini.
Jadi jangan membayangkan bahwa rumah yang kita tinggali saat ini sebagai rumah sebenarnya. Karena pada saatnya, kita akan kembali ke rumah asli kita.
Meski sejenak, dunia ini menjadi sangat penting. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut, “Orang yang cerdas adalah mereka yang sibuk menyiapkan bekal untuk kembali.” Bukan sibuk menumpuk yang di bumi karena semua akan ditinggalkan.
Kalau ada orang tua, saudara, sahabat, tetangga yang telah kembali dengan bekal yang cukup dan ‘perpisahan’ yang baik; rasanya itulah episode hidup ini yang paling bernilai. Betapa bahagianya bisa seperti itu.
Dan ketika mereka meninggalkan kita dengan ‘kemewahan’ episode hidup itu, rasanya yang pantas untuk ditangisi bukan mereka. Tapi, kita.
Karena mereka insya Allah sudah pasti akan bahagia di hidup abadi nanti, sementara kita belum tentu. Ketika mereka yang bahagia itu kembali kepada Allah untuk selamanya, menangislah. Menangislah agar kita bisa seperti mereka. [Mh]