MEMINTA maaf itu langkah yang berat. Tapi, yang memaafkan jauh lebih berat lagi.
Interaksi antar manusia itu tidak luput dari khilaf dan salah. Meskipun dikenal sebagai orang baik, kekhilafan bisa saja terjadi, disengaja atau tidak.
Ada dua posisi yang berbeda dalam soal maaf. Ada yang meminta maaf, dan ada yang memaafkan. Meminta maaf itu sulit karena butuh kerendahan hati. Tapi, yang memaafkan jauh lebih sulit lagi.
Jika yang meminta maaf dan yang memaafkan itu setara, boleh jadi nilainya biasa saja. Wajar jika satu pihak meminta maaf, dan satunya lagi memaafkan.
Namun, jika posisinya tidak setara, nilai meminta maaf dan memaafkan akan sangat berbeda. Butuh kekuatan hati yang luar biasa. Bukan sekadar lapang dada, tapi juga kedewasaan, kebijaksanaan, dan kearifan.
Terutama mereka yang pada posisi lebih tinggi. Baik dalam hal meminta maaf, maupun ketika pada posisi untuk memaafkan.
Mereka yang berada pada posisi lebih tinggi, mungkin atasan, guru, orang tua, dan lainnya; memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan apa pun dari sebuah kesalahan orang di bawahnya.
Misalkan ia sebagai orang yang meminta maaf atau pelaku kesalahan. Jika tidak meminta maaf pun, orang yang di bawahnya akan diam. Mereka tidak akan marah, tidak berani menunjukkan protes, dan lainnya.
Jadi, pada posisi ini, jika orang yang ‘atas’ mau meminta maaf, nilainya akan sangat luar biasa. Terlebih lagi diiringi dengan ‘kompensasi’. Hal ini karena mereka yang di ‘atas’ biasanya memiliki keleluasaan untuk memberikan sesuatu.
Begitu pun ketika yang di ‘atas’ pada posisi untuk memaafkan. Biasanya, yang ‘atasan’ akan memanfaatkan posisinya untuk membalas atau setidaknya memberikan semacam hukuman.
Kalau hal itu ia lakukan, orang yang terkena balasan atau hukuman boleh jadi akan menganggap biasa saja. Wajar kalau yang salah akan dapat hukuman.
Tapi bayangkan jika yang diberikan oleh ‘atasan’ adalah memaafkan, nilainya akan sangat luar biasa. Tentu dengan ukuran-ukuran yang proporsional. Tidak berarti menjadi ‘atasan’ yang lembek atau tidak tegas.
Ukuran proporsional inilah yang membutuhkan kebijaksanaan dan kearifan. Islam kadang memperlihatkan ada kesalahan yang bisa dimaafkan, ada juga yang harus dengan hukuman.
Di masa Rasulullah, kata maaf dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sudah bukan hal baru. Bahkan beliau seperti tidak menganggap perlu seseorang untuk meminta maaf, karena sudah beliau maafkan sebelum si pelaku meminta maaf.
Contoh, ketika penaklukan Kota Mekah. Semua orang yang pernah menyakiti, menyusahkan, bahkan mencelakai Rasulullah dan umat Islam semasa tinggal di Mekah dimaafkan sebelum mereka meminta maaf. Tidak ada hukuman sedikit pun untuk mereka.
Namun, hal berbeda terjadi terhadap tiga sahabat Nabi yang absen ikut berjihad pada Perang Tabuk. Di antara mereka ada Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seorang sahabat Nabi yang soleh luar biasa.
Apakah Nabi memaafkan begitu saja terhadap tiga orang ini? Ternyata tidak. Nabi menunggu izin dari Allah subhanahu wata’ala, apakah ketiganya dimaafkan atau tidak.
Menariknya, menunggu izin itu terjadi begitu lama. Bukan dalam hitungan jam. Tapi berhari-hari. Hingga, orang-orang terdekat ketiganya pun ikut menjauh mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah terhadap mereka.
Baru ketiga salah satu ayat dalam Surah At-Taubah turun yang isinya memaafkan tiga sahabat itu, Nabi dan umat Islam memaafkan ketiganya.
Hal ini menunjukkan bahwa memaafkan itu bersifat proporsional. Yaitu ketika yang bersalah orang biasa, maaf menjadi begitu murah. Tapi ketika yang bersalah itu tergolong orang luar biasa, maaf menjadi mahal.
Hal ini karena orang-orang luar biasa itu diisyaratkan untuk tidak melakukan kesalahan. Karena mereka orang-orang istimewa.
Jadi, tidak cepat memaafkan bukan untuk menghinakan mereka. Sebaliknya, justru untuk memuliakan.
Namun di atas segala kebijakan itu, kata maaf dan memaafkan mestinya sudah terhampar di hati kita. Hukuman boleh saja bisa menyadarkan. Tapi memaafkan bukan sekadar menyadarkan, tapi juga menumbuhkan rasa cinta dalam pergaulan. Dan itu energi persaudaraan yang sangat mahal. [Mh]