LET it go, relakanlah. Biarkan yang semula tidak ada menjadi kembali lepas. Karena hidup tak lebih dari perlintasan yang datang dan pergi.
Hidup ini bergerak. Ada yang datang, dan ada yang pergi. Entah berapa banyak momen pergantian kedatangan dan kepergian yang masing-masing kita alami.
Dahulu kita anak-anak. Kini, ada yang sudah punya anak. Ada yang akan punya anak. Tapi pastinya, kita bukan lagi anak-anak.
Begitu pun dengan benda-benda di sekitar hidup kita. Tanpa sadar, mereka datang dan pergi begitu saja. Berapa banyak dari kita yang mengingat seperti apa baju, sepatu, dan busana lainnya di lima belas tahun lalu.
Seperti itu pula segala fasilitas hidup yang datang dan pergi. Oksigen yang tiba melimpah di pagi hari, kemudian pergi di malam hari. Tentu setelah kita nikmati sebagai kebutuhan hidup yang asasi.
Begitu pun dengan air. Ada sebagian yang kita minum, untuk masak, dan mandi. Ia datang dan pergi begitu saja setelah selesai dimanfaatkan.
Semua kedatangan dan kepergian itu berlalu tak terasa. Dan kita menganggapnya sebagai hal biasa.
Yang datang dan pergi baru terasa ketika menyangkut bagian penting dari hidup kita. Ada orang-orang tercinta di sekeliling kita: ayah ibu, anak cucu, kakek nenek, kakak adik, om tante, dan lainnya.
Tapi rumusnya umumnya selalu sama: FiFO, first in first out. Yang awal datang yang awal pula akan pergi.
Kita pun dipaksa rela untuk melepas kepergian kakek nenek. Pada saatnya, juga rela melepas kepergian ayah ibu, dan yang lainnya.
Merelakan kepergian bisa dibilang memunculkan pengalaman baru yang tidak kita sukai. Meskipun bisa diperkirakan hal itu akan terjadi.
Begitu pun dengan apa yang kita miliki. Apa saja: harta, kesehatan, orang-orang terdekat, karir dan pekerjaan, kesenangan, dan lainnya.
Pendek kata, semua yang datang, pasti akan pergi. Semakin mendadak kepergiannya, semakin berat untuk melepaskannya.
Hampir semua yang pergi dan tidak kita sukai itu adalah musibah. Islam mengajarkan bahwa musibah bukannya pergi, tapi kembali kepada yang mendatangkan, yaitu Allah subhanahu wata’ala.
Jadi, karena bukan kita yang mendatangkan, maka sudah sepatutnya untuk rela jika ditarik kembali oleh yang mendatangkan.
Ada satu nilai yang bisa menjadi benteng agar kepergian bisa menenangkan. Yaitu, keimanan kepada Allah subhanahu wata’ala. Dialah Allah yang mendatangkan, dan Dia pula yang menarik kembali yang dititipkan kepada kita.
Namun, Allah begitu Maha Kasih dan Sayang. Sabar dan kerelaan tidak lewat begitu saja tanpa ganjaran. Akan ada ganti selama kita masih hidup, dan tersedia pula pahala ketika kita sudah mati.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Dan siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya…” (QS. At-Tagabun: 11)
Jadi, Let It Go. Relakanlah. Karena hidup memang persinggahan antara yang datang dan pergi. Begitu pun dengan kedatangan dan kepergian diri kita suatu saat nanti. [Mh]