MINTA maaf itu sangat berat. Tapi, lebih berat lagi untuk yang memaafkan.
Ketika peristiwa takluknya Kota Mekah ke pangkuan umat Islam, hampir seluruh warganya merasa akan ‘dihukum’ oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka ingat betul telah melakukan banyak kesalahan kepada Nabi. Mulai dari menghina, meludahi, memfitnah, mengusir keluarga Nabi, hingga memerangi.
Kini mereka begitu tak berdaya di hadapan Nabi. Mereka pasrah. Mereka dikumpulkan di dua tempat: di rumah Abu Sufyan dan di Masjid Al-Haram.
Rasanya semua mereka membayangkan hal yang sama. Mereka akan dieksekusi oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang selama ini telah mereka zalimi.
Namun, apa yang akhirnya mereka saksikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menghampiri mereka dalam posisi yang membungkuk di atas unta. Bukan kepada mereka, tapi kepada Allah subhanahu wata’ala yang telah menganugerahkan kemenangan tanpa peperangan.
Diumumkan, semua warga Mekah telah dimaafkan Nabi. Semua orang dijamin keamanan harta dan jiwanya. Padahal, mereka belum sempat mengucapkan permintaan maaf.
Sontak, mereka pun takjub. Mereka menyatakan diri masuk Islam, tanpa paksaan.
**
Tak ada untungnya menahan maaf terhadap mereka yang bersalah dengan kita. Sementara jika tidak dimaafkan, Allah akan menghukum mereka karena kesalahan terhadap kita.
Meminta maaf itu memang berat. Tapi lebih berat lagi, memaafkan mereka tanpa menunggu permintaan maaf.
Nabi pernah memuji seorang sahabat sebagai calon penghuni surga sebanyak tiga kali di momen yang berbeda. Hal ini karena sahabat tersebut biasa memaafkan siapa pun di setiap malam sebelum tidurnya.
Latihlah diri untuk ringan memaafkan siapa pun yang bersalah terhadap kita, sebagaimana Allah selalu memaafkan segala kedegilan kita. [Mh]