MAKAN kerap menjadi alasan kenapa orang terus bergerak dan bersemangat untuk meraih hidup. Tapi, hidup itu bukan hanya untuk makan.
Yang membedakan manusia dan hewan selain pada akalnya adalah karena hewan hidupnya hanya untuk makan. Tak ada kegiatan lain yang penting buat hewan selain makan.
Sementara manusia memiliki akal untuk memahami sesuatu. Yaitu hal paling penting kenapa mereka hidup. Bukan untuk makan. Tapi untuk beribadah kepada Allah.
Makan hanya penunjang. Bukan tujuan. Silahkan mengisi ruang-ruang waktu hidup untuk mencari makan. Tapi sekali lagi, bukan tujuan.
Di mana bedanya? Jika makan yang menjadi tujuan, maka segala cara menjadi boleh dilakukan. Tapi jika ibadah yang jadi tujuan, ada yang boleh dalam hidup ini dan ada yang tidak. Termasuk dalam usaha mencari makan.
Kelompok manusia yang tersasar dalam tujuan disebut Allah dalam Al-Quran tak ubahnya seperti hewan ternak. Bahkan lebih sesat lagi.
“….Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf ayat 179)
Kenapa Allah menyebut manusia seperti itu? Ada tiga hal. Yaitu, mereka punya hati tapi tidak digunakan untuk memahami. Mereka punya mata tapi tidak dimanfaatkan untuk mencermati. Dan mereka punya telinga tapi tidak digunakan untuk menyimak.
Sebutan hewan ternak seperti kerbau, kambing, sapi, ayam, dan lainnya menunjukkan bahwa dinamika hidup yang terjadi semata-mata karena dorongan makan.
Tapi menariknya, Allah menyebut manusia itu bahkan lebih parah dari hewan ternak. Karena dalam soal makan, hewan ternak tidak pernah berpikir untuk menyimpan dan untuk keluarganya.
Sementara manusia dunia makannya bukan hanya untuk dirinya sendiri. Melainkan untuk orang-orang lain yang disukai.
Jadi, ketika hari-hari dimulai dari pagi saat hendak mencari nafkah hingga sore atau malam saat waktunya kembali ke rumah; jangan semata-mata karena untuk mencari makan.
Lebih dari itu, untuk mencari energi agar hidup bisa ditujukan untuk ibadah. Karena ibadah juga butuh energi, butuh kelengkapan fisik seperti penutup sandang dan papan, dan lainnya.
Dan ketika hasil mencari nafkah ternyata tidak sesuai yang diharapkan, tetap menjaga diri agar dalam koridor ridha Allah subhanahu wata’ala. Tetap bersyukur dan berusaha.
Tidak lantas kecewa apalagi “banting stir” untuk menghalalkan segala cara. Hal ini karena makan dan aksesorisnya ditujukan hanya untuk penunjang, bukan tujuan.
Jadi, silahkan kita bekerja dengan giat. Silahkan menempuh ikhtiar dengan berbagai cara; tapi tetap dalam bingkai untuk beribadah. Bukan untuk makan itu sendiri.
Karena itu segala ikhtiar harus mengikuti rambu-rambu syariah. Seperti tetap menutup aurat, tidak bebas sekat laki dan perempuan, dan tidak menghalalkan segala cara.
Semua ini karena bukan makan yang jadi tujuan, tapi makan hanya sebagai penunjang. Tujuannya untuk ibadah mencari ridha Allah subhanahu wata’ala.
Makan memang untuk hidup. Tapi hidup bukan hanya untuk makan. [Mh]