BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya merupakan peribahasa introspeksi ayah dan ibu. Begitu sang anak, begitu pula ayah dan ibunya.
Bayangkan jika ada seorang anak yang lain dari yang lain. Tentu hal pertama yang dikaitkan sang anak adalah ayah dan ibunya. “Siapa sih orang tuanya?” begitu kira-kira komentar orang.
Keadaan ‘lain dari yang lain’ bisa berarti positif, bisa juga negatif. Prestasi atau catatan buruk tentang seorang anak.
Dan biasanya ada relasi kuat antara output pada anak dengan keadaan dari ayah ibunya. Misalnya, jika ayah dan ibunya seorang guru, maka anaknya akan senang belajar. Sebaliknya, jika ayah ibunya dikenal buruk, begitu pula kepatutan untuk anaknya.
Meskipun tidak semua relasi itu berlaku. Ada yang ayah ibunya preman, tapi anaknya panutan. Sebaliknya, ada yang ayah ibunya alim, tapi anaknya zalim.
Namun begitu, hal tersebut umumnya sebagai pengecualian. Hanya dalam jumlah sangat kecil hal itu bisa terjadi.
Kenapa? Karena sosok ayah ibu merupakan miniatur bangunan adab yang pertama kali dipahami anak.
Anak berinteraksi dengan karakter ayah ibunya bukan sebulan dua bulan. Melainkan, dalam bilangan puluhan tahun.
Tidak heran akan terjadi ‘mirroring’ atau cerminan anak terhadap ayah dan ibunya. Orang menyebutnya dengan istilah ‘like son, like father’, ‘like son, like mother’.
Bahkan, anak hewan pun akan meniru habis perilaku hewan dewasa yang pertama kali ia temui. Anak itik tak perlu belajar berenang, karena ia hanya meniru perilaku induknya.
Proses ‘mirroring’ ini biasanya pada perilaku, kebiasaan, karakter, atau adab. Sementara soal keilmuan, prestasi, dan lainnya tergantung pada potensi anak.
Apakah anak-anak tak bisa menyaring? Sama sekali tidak. Kecuali mereka yang Allah anugerahkan keutamaan dan kelebihan.
Masalahnya, ayah dan ibu akan berperilaku alami, apa adanya meski di hadapan anak-anaknya. Di depan tamu, mungkin ayah ibu akan terlihat baik, tapi di depan anak-anaknya akan apa adanya.
Tidakkah adab akan berubah jika anak-anak masuk sekolah? Memang ada potensi berubah. Masalahnya, berapa persen kedekatan di rumah dengan di sekolah. Kalau pengaruhnya kecil, maka akan kecil pula perubahan perilaku anak-anak.
Dan lebih repot lagi jika sekolah memposisikan diri bukan lagi sebagai pendidik, tapi sekadar penambah ilmu dan skill. Maka, jiplakan sosok ayah ibu akan terus melekat kuat pada anak-anak hingga ia dewasa.
Kunci utamanya kembali kepada ayah dan ibu. Perbaikilah diri ayah dan ibu seoptimal mungkin. Karena hal itu berarti akan diikuti anak-anak mereka. Meskipun mereka tidak diminta untuk ikut berubah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “Tiap bayi yang lahir dalam keadaan fitrah atau suci. Ayah ibunyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Jika kita tidak ingin anak-anak kita berperilaku seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi; berusahalah agar kita bisa seislami mungkin. Meskipun dalam hal-hal yang sederhana dan biasa. [Mh]