Oleh: Siti Faizah, Ketua Umum PP Salimah
ChanelMuslim.com- Allah Ta’ala telah menurunkan empat kitab suci. Namun Ia hanya berkehendak menjadikan Al Qur’an sebagai kitab suci terlama dan tak tergantikan sampai akhir zaman. Ia telah menjamin kitab suci terakhir dari kemungkinan perubahan, pengurangan yang pernah dilakukan manusia terhadap Taurat, Zabur dan Injil.
Risalah Allah kepada Muhammad Saw ini tidak akan mengalami perubahan, meski Penerima Wahyu pertama telah tiada. Keabadian Al Qur’an inilah yang menjadi bukti bagi kemukjizatannya yang bisa dipetik hikmah, ilmu, hukum dan menjadi kitab kehidupan sampai kapanpun. “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (Qs.Alhijr:9). Sungguh pemeliharaan yang orisinil, di luar kemampuan manusia, sebab Adz Dzikr adalah firman-Nya, bukan perkataan manusia.
Allah Mahabenar telah memilih sosok yang bersih dan terpercaya di tengah kaumnya. Muhammad Saw mendapat gelar kehormatan, “Al Amin”, terpercaya sebab kejujurannya. Siapapun mempercayai janji dan perkataannya. Beliau termasuk yang paling sempurna akalnya, paling tinggi budi pekertinya dan paling bagus gagasannya. Ia lahir dari keluarga besar yang terhormat dalam kondisi yatim dan piatu. Tumbuh besar menjadi hamba-Nya yang ‘ummi’, tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis. Menjadikannya terbebas dari pengaruh bacaan dan pembelajaran dari luar, justru untuk menangkal dan menepis anggapan kaumnya terhadap Al Qur’an, sebagai kutipan dan belajar dari seorang atau kitab lain yang turun sebelumnya. “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al Qur’an) sesuatu kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu, andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang mengingkarimu.” (Qs. Al Ankabut : 48).
Muhammad Saw Tidak pernah membaca suatu kitab sucipun semasa hidupnya, kecuali mendapatkan wahyu dari Allah Ta’ala melalui perantaraan Jibril ‘alaihissalam. Kalimat suci tersebut dibacakan kepada beliau secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. Beliau diberi kemampuan menghafal agar ia bisa membacakan kembali kepada para sahabatnya. Secara estafet tersampaikan kepada orang-orang yang beriman dari mulut ke mulut dan menghafalnya. Adapula yang menuliskannya dalam pelepah kurma, bebatuan hingga menjadi lembaran-lembaran mushaf di tangan para penulis wahyu, hingga terkodifikasi dalam bentuk satu mushaf.
Seiring perkembangan teknologi, penulisan Al Qur’an terus mengalami perbaikan, hingga tercetak dan terus diperbanyak serta tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan tujuan agar mudah dipahami oleh manusia. Bahkan bisa dibaca dan dipelajari oleh mereka yang semula tidak mampu berbahasa arab sekalipun.
Diantara kemukjizatan Al Qur’an, ia bisa dihafal oleh orang yang buta penglihatan, buta aksara, dan ‘ajam (bukan orang Arab). Hingga kini, jumlah penghafal terus bertambah sebagai bukti keterjagaanya dari berbagai perubahan, pengurangan dan penambahan (Qs. Al Qiyamah : 17-19). Andaikata Teks al Qur’an dimusnahkan semuanya, ia akan tetap muncul kembali seperti aslinya. Hal ini menjadi bukti dan cara Allah Ta’ala memelihara Kitab Suci-Nya. Senada dengan perkataan Ibnu Taimiyah, “Umat kita tidak seperti Ahli Kitab yang tidak menghafal kitab mereka di dalam dada. Bahkan sekiranya semua mushaf musnah maka Al Qur’an tetap terpelihara di dalam hati umat.”
Sebagai bagian dari pemeliharaan dan penjagaan terhadap ayat-ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala menetapkan Al Qur’an tetap dalam bahasa aslinya, yakni berbahasa Arab. Ia boleh dan bisa diterjemahkan dalam beragam bahasa di dunia agar bisa dipahami dan diamalkan isinya, dengan tetap menuliskan teks ayat dalam bahasa Arab. Ia hadir berbahasa Arab bukan hanya karena Muhammad Saw terlahir di Arab, namun kelebihan bahasa Arab dari berbagai sisi. Seperti kekayaan kosa kata, ketingginan nilai sastra, kejelasan makna dan keindahan kalimatullah dalam bahasa Arab tak tergantikan (Qs.Fussilat:44, Azzukhruf:2-4). Al Qur’an akan tetap menjadi kitab suci bagi hamba Allah di dunia dan menjadi penolong kelak di akhirat.
Anugerah mukjizat Al Qur’an ini bisa dirasakan di kalangan masyarakat yang awam bahasa Arab sekalipun. Seperti yang terjadi pada masyarakat Indonesia pada umumnya, banyak didapati di berbagai tempat ibadah, seperti mushala dan masjid. Saat lantunan ayat suci ini dibacakan oleh qari’ atau imam, banyak yang terkesima, tertunduk mendengarkannya, tergetar hati, tergugah perasaannya, tenang dan tenteram. Tanpa terasa air mata menetes sampai menangis tersedu. Banyak dari mustami’ (pendengar) yang merasakan hal serupa. Meski sebenarnya tidak memahami makna ayat demi ayat yang didengarnya. Namun ketundukan, perasaan yang hadir tidak bisa dipungkiri. Mahabenar Allah yang mengajak berdialog dengan perasaan dan berbicara dengan akal, telah menjadikan ruh Al Qur’an bersambung dengan ruh dan jiwa manusia yang bersih, meski akalnya tidak memahami kedalaman maknanya (Qs. Asy-syuro : 52).
Diantara anugerah mukjizat Al Qur’an, banyak orang yang diberi kemampuan menghafal, meski tidak seluruh maknanya dipahami. Ayat-ayat Al Qur’an yang tetap (tidak mengalami perubahan), tanpa merasa bosan dibaca secara berulang-ulang. Hal ini justru menguatkan memori otak sehingga mudah dihafal oleh orang cacat bahkan anak kecil sekalipun. Inilah kekuatan daya tarik mukjizat terbesar yang dianugerahkan Allah Ta’ala terhadap umat Muhammad Saw.
Jika bagi masyarakat awam, pesan dan kesan ruhi pada Al Qur’an tetap terasa, apalagi bagi orang beriman yang memiliki kedalaman ilmu dan kefasihan berbahasa Arab, tentu akan lebih dahsyat pengaruhnya. Semakin dibaca dan ditadabburi, semakin jatuh cinta dan menenteramkan hati. Diantara kisah luar biasa dan pengalaman spektakuler dari Imam Syafi’I RA yang pernah menghatamkan al Qur’an selama Bulan Ramadhan sebanyak 60 kali. Dalam tempo dua puluh empat jam, beliau telah selesai membaca dua kali atau setara 60 juz perharinya. Banyak riwayat menceritakan bahwa suatu malam Umar bin Khottob RA berkeliling kota, tiba-tiba beliau mendengar seseorang membaca Surah At-Thur ayat 1-8, kemudian beliau berkata, ‘inilah sumpah yang benar, demi Tuhan Pemilik Ka’bah.” Beliau tersungkur pingsan dan sakit selama 30 hari. (Mh)