BUDAYA mencerminkan kekhasan sebuah bangsa. Hal yang biasa, wajar jika dianggap aneh oleh warga bangsa lain.
Pergaulan warga antar bangsa kian pesat. Termasuk keingintahuan muslimah luar negeri terhadap budaya Indonesia.
Namun begitu, tidak semua budaya muslim Indonesia mereka pahami. Ada juga yang mereka bingung, bahkan risih.
Satu, Budaya ‘Sok Akrab’
Indonesia memang dikenal sebagai bangsa yang ramah. Sebegitu ramahnya, bahkan terasa ‘sok akrab’ buat sebagian muslimah asing yang merasakan tinggal di Indonesia.
Misalnya, para tetangga yang biasa menanyakan ‘Mau Kemana, Neng?” ketika ada wanita yang sudah mereka kenal. Hal ini bukan kalimat tanya, tapi sebuah sapaan hangat.
Ada muslimah asing yang awalnya sangat risih dengan pertanyaan ini. Apa urusannya, itu kan privasi saya. Kenapa harus saya kasih tahu ke orang lain.
Namun setelah berkali-kali diperlakukan seperti itu, akhirnya mereka paham juga bahwa itu sekadar sapaan dan keramahan.
Dan jawabannya nggak perlu benar kok. Bisa dijawab dengan, “Mau ke situ!” atau “Eh iya. Mau ke depan!” dan seterusnya. Pendek kata, hal itu cuma bahan sapaan agar lebih akrab.
Dua, Candaan yang Membingungkan
Ada lagi jenis sapaan dari tetangga yang ingin memperlihatkan keakraban dan keramahan. Kali ini, sapaannya dimaksudkan sebagai candaan agar suasana bisa lebih ‘cair’.
Misalnya, “Udah mandi, belum?”
Meski pertanyaan ini disampaikan oleh seorang ibu, tapi sebagian warga asing justru menjadi bingung. Terlebih lagi seorang muslimah.
Ia merasakan bahwa pertanyaan itu seperti kritik. Sehingga sejumlah pertanyaan pun muncul tentang dirinya: apa ada yang bau dari tubuhnya, apa ia terlihat belum mandi, dan lainnya.
Tapi itu terjadi di saat pertama kali. Ketika ungkapan itu disampaikan berkali-kali, si muslimah asing ini pun paham kalau hal itu hanya guyonan agar suasana menjadi lebih cair.
Tiga, Perayaan Khitanan
Khitan untuk anak laki-laki dalam Islam memang khilafiyah. Terutama di usia berapa anak laki-laki harus dikhitan.
Ada ulama yang berpendapat khitan di usia bayi, ada juga yang menyatakan khitan di usia SD misalnya.
Tapi di sebagian besar negeri muslim, khitan anak laki-laki dilakukan di usia bayi. Dan kalau pun dikhitan, tidak ada perayaan.
Berbeda dengan Indonesia. Ada yang dikhitan di usia bayi, tapi sebagian besar lainnya dikhitan di usia SD. Bukan itu saja, tapi juga ada perayaannya. Termasuk, mengundang para tetangga.
Kadang-kadang, anak yang dikhitan tidak merasa perlu untuk menutup auratnya. Hal ini karena ia merasa lebih nyaman agar tidak tersentuh atau tergesek dengan celana atau kain sarung.
Nah, bayangkan jika muslimah asing yang ingin akrab dan hadir di acara khitanan ini melihat keadaan apa adanya.
Apa yang mereka rasakan, “Saya kaget dan risih!” Tapi, hal itu mereka sampaikan sambil tersenyum.
Hal ini karena di negeri mereka, termasuk negeri muslim, khitanan menjadi acara privasi keluarga. Bukan sebuah acara walimah yang mengundang para tetangga.
Tapi, itulah budaya sebuah bangsa. Masing-masing punya kekhasannya. [Mh]