TAHUKAH kamu asal usul gelar haji di Indonesia? Gelar tambahan ‘Haji’ hanya ada di Indonesia, lho. Di Arab Saudi maupun negara lain, ketika seseorang pulang menunaikan haji tidak ada yang menambahkan gelar tersebut di depan nama mereka.
Lalu bagaimana seharahnya gelar ‘Haji’ itu bisa muncul di Indonesia?
Menurut Dr. Tiar Anwar Bachtiar dilansir dari Jejak Islam, gelar haji sudah muncul sejak lama.
Ada yang menyebut pada tahun 1674 yang dikemukakan oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam (2013: 33-34).
Ia menyebut bahwa pada tahun 1674, anak Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten naik haji. Anak Sultan Ageng merupakan anak raja di Jawa yang pertama kali naik haji.
Sepulang dari Mekah tahun 1675, ia kemudian disebut sebagai “Sultan Haji”.
Sebelumnya, beberapa bangsawan Banten sudah berangkat haji juga pada tahun 1638 dan 1651.
Sepulang dari Mekah, mereka menyematkan gelar “haji” di depan namanya, yaitu Haji Jayasantana dan Haji Wangsaraja, lalu Haji Fatah.
Fakta ini menunjukkan bahwa sejak lama gelar “haji” sudah populer di Indonesia. Pada saat Sarekat Islam didirikan tahun 1911, pendirinya sudah populer disebut “haji”, yaitu Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Salah satu ketentuan sepulang dari Mekah mereka harus menempuh ujian mengenai masalah Mekah dan Islam.
Hanya apabila mereka lulus ujian ini, barulah mereka dianggap berhak untuk mempergunakan gelar haji di depan nama mereka.
Ujian ini maksudnya untuk mengurangi pengaruh orang-orang haji yang tidak disenangi pemerintah terhadap masyarakat.
Sebab, di masyarakat umum, mereka yang pernah pergi haji dan menggunakan gelar haji mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi dari masyarakat.
Agar mereka tidak berpengaruh lagi; atau minimal dapat mengurangi pengaruh mereka, maka penggunaan gelar “haji” justru ingin dihilangkan oleh Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1993: 32).
Baca Juga: Imam di Kanada Gelar Undian Haji untuk Dorong Vaksinasi
Ini Asal Usul Gelar Haji di Indonesia yang Harus Kamu Ketahui
Alasan ketiga ini semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa pada masa lalu, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20 posisi mereka yang pernah menunaikan ibadah haji ke Mekkah sangat penting dan strategis.
Mereka yang melaksanakan ibadah haji pada masa itu, disebabkan faktor geografis, menyebabkan perjalanan haji menjadi perjalanan yang sangat penting.
Perjalanan haji bukan hanya sekadar menjadi perjalanan spiritual belaka seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini setelah transportasi udara massal mudah diakses.
Perjalanan haji pada masa itu adalah juga perjalanan mencari ilmu dan membangun relasi internasional.
Mereka pada umumnya bermukim di Mekah atau Jeddah dalam waktu yang cukup lama sebelum atau sesudah melaksanakan ibadah haji.
Selama mereka berada di sana, sebagian besar menggunakannya untuk belajar dan membangun relasi internasional.
Selama mereka “ngelmu”dan membangun jaringan di Tanah Suci, terbangunlah kesadaran tentang kondisi tanah air mereka yang sedang terjajah sama seperti di belahan dunia Islam yang lain.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kolonial Belanda, banyak tokoh yang sepulang haji tampil menjadi tokoh-tokoh pergerakan yang mampu mempengaruhi masyakarat untuk melawan pemerintah Belanda.
Salah satu yang cukup penting adalah munculnya gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat yang sekaligus menjadi motor perlawanan terhadap Belanda, yaitu kaum Padri.
Cristian Dobbin dalam Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847 (2008: 198-202) menjelaskan bahwa munculnya para pemimpin Padri dan pengaruh mereka terhadap masyarakat tidak terlepas dari pengaruh yang didapatkan dari kawasan Hijaz sepulang haji.
Pengaruh ini bahkan semakin kuat hingga mampu menggerakkan masyarakat untuk angkat senjata melawan Belanda pada Perang Padri (1833-1838).
Pengaruh gerakan para haji ini semakin menguat memasuki abad ke-20.
Hasil ngelmu di Mekah dari guru-guru mereka dan kenalan mereka sedunia menginspirasi para haji ini untuk membuat suatu terobosan gerakan baru selain gerakan militer seperti para pendahulu mereka.
Pendekatan baru yang dimaksud adalah pendekatan politik dengan cara mendirikan organisasi-organisasi gerakan yang cukup efektif untuk mendapat dukungan rakyat secara langsung.
Mula-mula, Haji Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905; lalu Hadji Oemar Said Tjokroaminota memperluas cakupan politiknya dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) pada tahun 1911.
Setahun berikutnya, pada 1912, Haji Ahmad Dahlan yang pernah tinggal cukup lama di Mekah mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berfokus pada pendidikan dan kegiatan sosial untuk membentengi umat dari pemurtadan.
Tahun 1923 di Bandung, Haji Muhammad Yunus dan Haji Muhammad Zam-zam mendirikan Persatuan Islam (Persis), Haji Abdul Halim mendirikan Persyarekatan Ulama di Majalengka, dan contoh-contoh lain yang jumlahnya cukup banyak.
Gara-gara haji ini juga, para pengasuh pesantren akhirnya menempuh jalan para aktivis Islam dengan mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) pada tahun 1926.
Munculnya gerakan-gerakan Islam tersebut semakin menekan posisi politik Belanda di tanah jajahannya ini. Oleh sebab itu, Belanda berusaha untuk menekannya supaya tidak berbahaya.
Masuk akal bila tahun Ordonansi Haji tahun 1859 membatasi dan cenderung melarang penggunaan gelar “haji”, karena masyarakat memang amat menghormati gelar ini sejak lama.
Ini jelas sekali menunjukkan bahwa gelar “haji” bukan pemberian Belanda, melainkan budaya yang sudah melekat lama di kalangan kaum Muslim di Indonesia. Wallâhu A’lam.
Sebagaimana disebutkan, secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya.
Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah. [Ilham/ind]