ChanelMuslim.com – Saya mencoba untuk memahami apa yang dikatakan oleh Mas Menteri Pendidikan tentang hafalan tidak penting. Jujur saja saya sendiri pernah memberikan ceramah parenting tentang hal ini.
Saya memahami apa yang beliau maksud dan saya setuju karena beliau sekolah di luar negeri. Di luar negeri itu memang hafalannya kurang.
Contoh dua hal saja;
1. Anak saya ujian matematika tapi tidak dipaksa menghafal rumus. Bahkan boleh membawa satu kertas yang sudah distempel oleh gurunya dan di situ boleh menulis semua rumus. Jadi, tidak perlu menghafal tapi tahu menggunakannya. Ini saya setuju.
Ketika saya sudah tua begini lalu ikut ujian Matematika tingkat SMU agar saya lebih paham metode pendidikan zaman sekarang, ketika itu saya juga kelabakan menghafal rumus. Maka yang saya lakukan adalah semua rumus saya hafal denga melihat kursi atau benda. Kemudian ketika ujian, saya tumpahkan semua rumus yang dihafal ke atas kertas buram baru saya mulai menggunakannya ketika ujian.
Alhamdulillah lulus. Padahal, banyak peserta yang tidak lulus meskipun lebih muda usianya dari saya. Intinya anak itu lebih baik bisa menggunakan rumus dengan tepat untuk sebuah kasus daripada sibuk menghafal rumus.
2. Di luar negeri kalau ujian SMU itu soal cuma dua tapi jawabannya 8 halaman dan boleh open book. Tidak ada hafalan. Tidak menghafal 5 kebijakan atau 6 kebaikan tapi ditanya opini dan saran sehingga anak dipaksa untuk berpikir mencari solusi bukan menghafal kebijakan atau langkah-langkah. Jadi, yang dihafal cuma pelajaran Biologi saja.
Saya sering membaca tulisan yang isinya mengkritisi ungkapan Mas Menteri. Tapi, saya tidak membaca beliau mengungkapkan bahwa siswa tidak boleh menghafal Alquran. Apalagi latar belakang beliau bukan dari pesantren yang notabenenya ada hafalan Alquran.
Saya rasa yang beliau maksud tidak perlu menghafal itu untuk urusan akademik bukan urusan menghafal Alquran. Terlebih konteks saat beliau bicara pada persoalan UN. UN kan perkara akademik.
Coba saat kita memberikan kritikan itu berdasarkan konteks yang ada. Kalau yang dikritik adalah academic style, saya pikir ungkapan beliau yang seperti itu maka saya setuju sekali. Untuk apa anak dididik untuk menghafal rumus.
Tapi anak perlu menghafal Pancasila. Saya jadi tersenyum sendiri ketika Ben (6 tahun) sedang komat-kamit setelah muroja’ah surat Al Haaqqa yang panjang itu. Dia menyambungkannya ke kemanusiaan yang adil dan berakhlak.
“Beradab Ben,” kataku membetulkan.
Ben berkata, “Tapi Ben nggak tahu adab itu apa. Ben tahunya akhlak.“
Ya sudah kalau begitu nanti dihafalkan lagi. Toh ujian PKN masih lama. Masih 5 tahun lagi.
Nah, kalau kayak begitu, untuk soal Pancasila dan Undang-Undang ya harus dihafal. Kalau disuruh kasih opini bisa jadi berantem satu kampung.
Jadi, saya cuma ingin mengatakan, “Saya paham sih apa yang beliau maksud dengan ‘Jangan banyak hafalan atau hafalan nggak perlu‘. Maksudnya, jangan semua dihafal sehingga kita nggak berpikir.”
Ini konteksnya tentang perkara akademik. Sebaiknya menggunakan High Order Thinking Skill. Coba baca lagi apa yang beliau ungkapkan. Ada nggak link beritanya. Saya tidak menemukan beliau menyinggung soal tidak boleh menghafal untuk hafalan Alquran atau hadist.
Saya bukan membela. Lah, saya nggak kenal juga tapi kalau kebijakan beliau nanti dikritisi yang rugi anak-anak kita sendiri. Mereka tidak bisa berkembang ruang opininya karena harus apa-apa dihafal. Jadi, nggak boleh berpikir. Nanti bisa kurang kreatif dan menurut saja. Bagusnya anak-anak jadi leader bukan follower.
Allah berfirman, “Dan musyawarahkanlah segala urusan dengan mereka.” (Q.S. Ali Imran: 159)
Website:
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jakartaislamicschoolcom
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter: