APA solusi untuk mengatasi permasalahan yatim piatu? Seperti diketahui, mereka rentan terhadap masalah perilaku dan emosional daripada yang lain kehilangan kasih sayang serta perhatian dari keluarga.
Ada bukti penelitian kuat mencatat prevalensi masalah yang signifikan. Bukti tersebut menggarisbawahi perlunya melakukan skrining terhadap masalah-masalah yang ada secara berkala dan menyelesaikannya.
Baca Juga: Peduli Yatim Piatu, IBF Net Bangun Jaringan Panti Asuhan Berbasis On-Chain
Solusi untuk Mengatasi Permasalahan Yatim Piatu
Para peneliti menggunakan instrumen yang berbeda untuk mengamati masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, skala SDQ yang terkenal berusaha untuk mengukur masalah-masalah di beberapa kelas.
Contohnya, masalah perilaku, masalah teman
sebaya, masalah emosional, hiperaktif, dan perilaku prososial yang rendah di antara
anak-anak tersebut.
Hal-hal tersebut diamati terkait erat dengan faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, alasan berada di panti, usia masuk, dan lama tinggal di panti.
Kuesioner Kekuatan dan Kesulitan (SDQ) adalah kuesioner skrining perilaku singkat.
Kuesioner ini tersedia dalam beberapa versi untuk memenuhi kebutuhan para peneliti,
dokter, dan pendidik.
Semua versi SDQ menanyakan tentang 25 atribut, beberapa positif dan yang lainnya negatif.
Ke-25 item ini dibagi menjadi 5 skala.
1. Gejala emosional meliputi: gugup atau melekat, takut atau takut, khawatir, tidak bahagia, putus asa, dan keluhan somatik.
2. Masalah perilaku meliputi: kecenderungan untuk berkelahi atau menggertak, berbohong
atau menipu, mencuri, menjadi pemarah, dan tidak patuh.
3. Masalah hiperaktif/kurang perhatian meliputi: mudah terganggu, gigih, gelisah atau terlalu aktif, gelisah atau menggeliat, dan reflektif.
4. Masalah teman sebaya meliputi: menyendiri, paling cocok dengan orang dewasa, memiliki satu teman baik, disukai orang lain (populer), dan diganggu atau diintimidasi.
5. Terakhir, perilaku prososial meliputi: peduli, membantu, perhatian, berbagi, dan baik
kepada anak-anak.
Goodman et al, (2010) menyarankan bahwa dalam sampel populasi umum, mungkin lebih
baik untuk menggunakan pembagian tiga skala alternatif dari SDQ menjadi ‘masalah
internalisasi’ (gejala emosional dan teman sebaya), ‘masalah eksternalisasi’ (perilaku dan
gejala hiperaktif) dan skala prososial.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa prevalensi masalah-masalah tersebut di
antara anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan lebih tinggi dibandingkan dengan
anak-anak yang berusia sama yang dibesarkan oleh keluarga mereka sendiri.
Di Turki, Simsek dkk (2007) meneliti prevalensi masalah-masalah tersebut dan faktor risiko dan faktor protektif yang terkait di antara anak-anak yang dibesarkan di panti asuhan dibandingkan dengan sampel komunitas yang mewakili secara nasional dari anak-anak berusia sama yang dibesarkan oleh keluarga mereka sendiri.
Mereka menemukan bahwa masalah tersebut secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak dan remaja yang diasuh di panti asuhan (23,2 persen) dibandingkan dengan yang diasuh di masyarakat (11 persen).
Kontak rutin dengan orang tua atau kerabat, antara guru kelas dan staf panti asuhan, keterlibatan dalam tugas yang sesuai, dukungan sosial yang dirasakan, dan kompetensi merupakan faktor pelindung yang signifikan terhadap masalah emosional dan perilaku.
Di India, Kaur et al (2018) menemukan bahwa anak-anak yang berada di panti asuhan
karena ditelantarkan oleh keluarga lebih cenderung memiliki masalah emosional.
Sementara itu anak-anak yang kabur memiliki lebih banyak masalah perilaku dan hiperaktif dibandingkan dengan yang lain.
Shanthi dkk (2014) menemukan prevalensi masalah perilaku dan emosional sebesar 56 persen di antara anak jalanan yang dilembagakan.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh Saleem et al (2013) pada anak-anak sekolah menemukan bahwa 31 persen dari partisipan termasuk dalam kategori parah, dari jumlah tersebut 16 persen termasuk dalam kategori sangat parah.
Dalam penelitian lain di Mesir, El Koumi dkk (2012) menemukan bahwa prevalensi gangguan perilaku adalah 64,53 persen di antara mereka yang berada di panti asuhan.
Temuan serupa telah diamati oleh beberapa penelitian lain yang dilakukan untuk sampel negara yang berbeda dengan sedikit variasi dalam alat pengukuran yang digunakan.
Di Bangladesh, Rahman et al (2012)
melakukan asesmen dengan menggunakan DAWBA (The Development and Well-Being
Assessment) versi Bangla yang valid yang dikembangkan oleh Goodman et al (2000) dan
menemukan bahwa prevalensi gangguan perilaku dan emosi secara keseluruhan adalah
40,35 persen.
Untuk Indonesia, Umami et al (2019) berfokus pada masalah yang sama di antara anak-anak pekerja migran di Indonesia, yang sebagian besar adalah perempuan yang memiliki anak, menghasilkan sejumlah besar anak yang ditinggalkan (left‐behind children/
LBC).
Studi ini mencatat prevalensi masalah emosional dan perilaku pada LBC sebesar 28,4 persen, dibandingkan dengan 21 persen pada non-LBC.
Keterikatan teman sebaya, komunikasi, dukungan sosial, dan kesepian diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang berdampak pada masalah emosional dan perilaku di antara LBC.
Perbedaan antara LBC dan non-LBC mungkin tidak terlalu signifikan di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara lain.
Hal ini dikarenakan, Indonesia memiliki sistem pengasuhan yatim-piatu yang lebih menekankan pada nilai-nilai dan etika Islam sebagai landasannya dengan sistem pendidikan berbasis agama yang dinamis untuk sebagian besar anak yatim-piatu.
Apakah karena di Indonesia memiliki sistem pengasuhan anak yatim piatu yang lebih menekankan pada nilai-nilai dan etika Islam sebagai landasannya?
Tentunya, di seluruh dunia, bukan penyakit mental saja yang menyebabkan anak-anak
ditempatkan di panti.
Keluarga-keluarga di negara-negara berkembang telah berjuang untuk mengatasi perubahan sosial yang cepat dan tak terduga.
Kemiskinan akut, krisis ekonomi, pertikaian sosial, bencana alam yang disebabkan oleh iklim yang menyebabkan pengungsian internal, migrasi secara sukarela dan secara paksa, semuanya berkontribusi pada penempatan anak-anak di panti asuhan yang berujung pada pengabaian, pelecehan, dan penelantaran.
Dampak keseluruhan dari situasi ini masih belum dapat dikaji seutuhnya.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang mendesak untuk mengembangkan program intervensi sejak dini untuk mencegah pemisahan anak dari keluarganya dengan mengembangkan layanan dukungan bagi keluarga yang membutuhkan, layanan konseling untuk mencegah penelantaran, serta layanan rehabilitasi bagi orang tua yang berisiko melakukan kekerasan atau penelantaran terhadap anak.
Inisiatif yang diusulkan oleh IBF Net
Studi Simsek sangat menyarankan untuk menemukan cara bagi para profesional bidang
kesejahteraan anak untuk berkolaborasi lebih lanjut dengan program intervensi awal.
Hal ini, menurut para peneliti, akan meningkatkan peluang dan kesejahteraan anak-anak dan remaja yang saat ini dirawat di dalam sistem.
Tentunya, para pembuat kebijakan di seluruh
dunia menggarisbawahi perlunya pendekatan kolaboratif dalam menangani masalah ini.
Inilah alasan yang mendasari proposal IBF Net membangun jaringan on-chain untuk
pengasuhan yatim-piatu.
Jaringan ini juga diharapkan dapat mempromosikan model pengasuhan alternatif, seperti sistem pengasuhan atau adopsi dan panti asuhan berbasis keluarga di masyarakat.
Di negara-negara Islam, religiusitas, iman dan kesalehan memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan budaya.
Islam dipandang sebagai pemberi pengaruh utama dalam desain dan praktik program pengasuhan anak yatim.
Oleh karena itu, untuk masyarakat ini kami mengusulkan untuk mengembangkan versi SDQ yang dimodifikasi serta Program Konseling yang berakar pada ajaran Islam.
Sebuah tinjauan awal terhadap komponen-komponen SDQ mengungkapkan bahwa ketiadaan nilai-nilai Islam yang spesifik
mungkin sangat berkorelasi dengan intensitas masalah.
Lebih lanjut, adanya sejumlah besar
literatur tentang masalah dan solusi untuk berbagai wilayah dan masyarakat di seluruh dunia menunjukkan kemungkinan untuk mengembangkan paket konseling berbasis AI.
Pendekatan semacam itu seharusnya dapat diterima secara lebih luas di kalangan orang
tua, guru, dan konselor dalam kelompok masyarakat Islam. [Cms]