UAS atau Ustaz Abdul Somad pernah berbagi cerita tentang suka dukanya kuliah di luar negeri. Perjalanan panjang sekitar tujuh tahun itu sukses mengantarkannya hingga S3 dan gelar Profesor.
Pada bulan September tahun 1998, seratus orang calon mahasiswa asal Riau yang akan kuliah di Al-Azhar Mesir akan diberangkatkan.
Mereka ditampung di lembaga diklat bahasa di Jurangmangu Tangerang. Pelatihan bahasa memakan waktu sekitar dua bulan. Sayangnya, dari seratus orang itu, yang siap berangkat menjadi 75 orang. Termasuk yang berangkat itu Ustaz Abdul Somad.
Hal ini karena terpaan krisis moneter yang terjadi tepat di saat momen-momen keberangkatan mereka. Nilai dolar yang semula hanya dua ribu tiba-tiba menjadi dua puluh ribu.
Saat itu, Ustaz Somad berpesan kepada ibunya, “Ma, jangan bikin kenduri dulu sebelum aku sudah benar-benar duduk di pesawat. Khawatir tidak jadi berangkat!”
Akhirnya, mereka berangkat ke Mesir dengan pesawat Royal Jordan. Saat itu, mereka begitu membanggakan pesawat itu. Tapi setiba di Al-Azhar, mereka baru tahu kalau pesawat itu tergolong yang paling murah.
Mereka berangkat melalui program beasiswa. Dan setibanya di Al-Azhar Mesir, mereka pun menerima beasiswa dari Al-Azhar sebesar 120 pound per orang untuk biaya hidup di sana.
Pemilihan Fakultas dan Jurusan
Meski sudah tiba di Al-Azhar, para mahasiswa belum memilih fakultas dan jurusan apa yang akan mereka ambil. Biasanya, mereka memperoleh sosialisasi dari para senior asal Indonesia yang menjelaskan masing-masing fakultas mereka.
Ssaat itu, UAS agak bingung mau pilih fakultas mana. Ia pun menelepon ibunya di kampung. Kira-kira, jurusan apa yang bagus dipilih.
Kata ibunya waktu itu, pilih yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan hadis. Akhirnya, UAS memutuskan untuk memilih ilmu hadis.
Setelah Satu Tahun Kuliah
Kesibukan kuliah di Al-Azhar memang sangat ketat. Para mahasiswa bisa dibilang tidak akan pernah jauh dari kitab dan kitab. Tidak pernah terpikir oleh mereka untuk bersantai-santai atau berjalan-jalan di keramaian Mesir.
Pada akhir bulan Juni, akhirnya ujian tahun pertama selesai. Ada empat tingkat nilai: yang tertinggi mumtaz, di bawahnya jayyid jiddan, jayyid, dan rosib. Rosib artinya gagal.
Dari mahasiswa seangkatannya, yang mendapat nilai mumtaz hanya satu orang. UAS mendapat nilai jayyid. Tapi untuknya, nilai itu sudah sangat baik karena kuliah di Al-Azhar memang sangat berat.
Mengisi Liburan
Pada bulan Juli dan Agustus, kuliah libur total. Berbagai kegiatan dilakukan para mahasiswa asal Indonesia. Bagi yang punya uang, bisa pulang ke tanah air. Bagi yang tidak, hanya mengisi liburan sekadarnya di sekitaran Kairo Mesir.
UAS tergolong yang tidak punya uang. Ia dan beberapa temannya mengisi liburan itu berwisata di pantai Aleksandria Mesir. Meski namanya wisata, tapi segalanya dilakukan dengan super hemat. Mulai dari transportasi, makanan yang dibawa dari kos, hingga penginapan.
Tahun Kedua
Pada kuliah tahun kedua, UAS sudah bisa lebih mapan mengatur belajar dan keuangan beasiswa. Pendek kata, segala kebutuhan keuangan digunakan sehemat mungkin dan diutamakan untuk kebutuhan kuliah.
Pada liburan tahun kedua, UAS dan teman-temannya berencana berangkat haji ke Mekah. Dari Mesir ke Mekah bisa ditempuh dengan kapal laut.
Mereka pun mengurus visa dan tiket. Dari mana uangnya? UAS masih menyimpan bekal uang dari ibunya sebesar 500 dolar. Saat itu, nilai dolar masih dua ribu rupiah.
Uang itu tidak ia belanjakan selama tinggal di Mesir. Dan baru ia pakai untuk keperluan pergi haji. Sebagian untuk biaya visa, tiket, dan kebutuhan lain.
Namun tetap saja, meski niatnya untuk pergi haji, para mahasiswa ini memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari pekerjaan sambilan. Pekerjaan yang biasa dilakukan para mahasiswa di sana adalah sebagai tenaga bantuan pembimbing haji.
Jadi, sambil mereka beribadah haji, mereka pun memperoleh gaji sebagai pembimbing. Ada insiden yang dialami UAS ketika membawa seratus jamaah ke Muzdalifah dan Mina. Dari seratus itu, yang kembali ke bus hanya 75 orang, sisanya entah kemana.
UAS pun kebingungan. Ia tidak berani meminta gaji dari kerja sambilannya itu. Takut akan disalahkan. Tapi ternyata, masalah itu tuntas dengan sendirinya. Karena 25 orang yang sempat hilang itu sudah balik ke kelompoknya. UAS pun akhirnya mendapatkan gajinya.
Begitu pun di tahun berikutnya, UAS dan teman-teman memanfaatkan liburan untuk memperoleh pekerjaan sambilan. Meskipun hanya sebagai tenaga pembawa nasi boks untuk para jamaah.
Di tahun keempat, pengalaman UAS dan teman-temannya mengurus jamaah haji akhirnya mendapatkan ‘apresiasi’ dari KBRI di Saudi. Mereka diterima sebagai tenaga pembimbing resmi. Dan penghasilannya lumayan.
Kuliah S2
Selama empat tahun kuliah di Al-Azhar Mesir itu, UAS tidak pernah pulang kampung. Ia pun berencana untuk melanjutkan kuliah S2. Tapi di mana? Tentu yang lebih menarik dari segi beasiswanya.
Selama mengurus jamaah haji, UAS saling bertukar pikiran dengan para mahasiswa senior tentang kuliah S2. Ada yang menawarkan di Bagdad. Kabarnya, di universitas Bagdad sangat difasilitasi oleh Sadam Husein. Dan UAS pun mantap memilih kampus ini.
Tapi, tiba-tiba terdengar kabar bahwa Amerika menginvasi Irak. Universitas Bagdad rata dengan tanah. UAS pun akhirnya batal kuliah di sana.
Namun begitu, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Ia memilih kuliah di Malaysia. Tapi, tetap saja, ia masih mencari-cari kampus Islam yang bagus dan menawarkan beasiswa yang menarik.
Akhirnya, ia mendapat informasi untuk bisa kuliah S2 di Maroko. Setelah selesai di S2nya, UAS pun berencana untuk melanjutkan ke S3.
UAS menelepon ibunya untuk mengabarkan kalau ia akan melanjutkan ke S3. Tapi, ibunya dengan pendek mengatakan, “Apalah arti S3, kalau kamu balik ibu sudah tidak ada!”
Kalimat pendek itu, sudah cukup menjadi teguran keras untuk UAS agar secepatnya balik dulu ke tanah air. Ia pun balik ke Riau dan mengirim sejumlah lamaran kerja sebagai dosen.
Dari sekitar seratus lamaran, tak satu pun yang menerimanya. Lamaran baru ada yang menerima ketika UAS memantapkan diri untuk bekerja di Riau. Yaitu, sebuah kampus Islam di Riau.
UAS baru bisa melanjutkan S3nya setelah beberapa tahun kemudian tertunda. Ia lulus S3 di sebuah universitas di Sudan.
Dan pada sebuah momen tertentu, seorang dosen yang juga temannya mengabarkan kalau Universitas di Brunei menawarkan gelar profesor untuk dirinya.
Satu hal yang menurut UAS sebagai kunci sukses perjalanan pendidikannya. Yaitu, semua cita-cita itu semata-mata ia niatkan untuk menyenangkan ibunya, sebagai ungkapan baktinya kepada sang ibu.
Dan boleh jadi, masyarakat Indonesia tidak melihat UAS dari gelar pendidikannya. Tapi dari keilmuan dan ketulusannya dalam berdakwah. [Mh]
*) seperti dituturkan UAS dalam pembekalan calon mahasiswa di Pesantren Darul Azhar.