FRUSTASI terjadi ketika kecewa dengan adanya penghalang untuk mencapai yang diinginkan. Dan, remaja menjadi masa yang paling rawan.
Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa. Berkisar antara usia SMP dan SMA. Antara 13 hingga 18 tahun.
Secara fisik dan mental, mereka tak lagi sebagai anak-anak dan belum seperti orang dewasa. Tapi ketika harus memilih, mereka lebih menganggap dirinya dewasa daripada masih anak-anak.
Remaja Selalu Ingin Ideal
Remaja diumpamakan seperti orang bangun tidur tapi ingin berlari kencang. Dua keadaan yang bertolak belakang. Orang bangun tidur itu lemas, belum ada energi; tapi ingin berlari kencang yang hanya dimiliki mereka yang terlatih dan banyak energi.
Akibatnya, akan selalu ada kesenjangan antara idealita dan realita. Itu belum termasuk hambatan. Jika ditambah hambatan, maka realita akan menjadi semakin sangat jauh.
Untuk menutupi kekurangan itu, remaja memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang pantas. Misalnya, paling berani, paling bisa, paling tak mau ketinggalan alias terdepan.
Misalnya, untuk bisa terlihat pemberani, mereka mengendarai kendaraan dengan kencang. Untuk bisa terlihat dewasa, mereka merokok di tempat umum. Atau yang wanitanya dengan dandanan yang seronok.
Nah, serba merasa ideal itulah yang menjadikan mereka sangat rawan mengalami frustasi. Karena penghalang yang sebenarnya wajar, bagi mereka harusnya tidak boleh ada. Hal ini karena mereka belum memahami kalau idealisme pasti ada hambatan dan penghalangnya.
Remaja Berjarak dengan Orang Dewasa
Karena merasa serba bisa itu, remaja merasa tak perlu bantuan orang dewasa. Mereka mencermati sendiri masalah secara subjektif dan mengaplikasikan sendiri menurut versi mereka. Judulnya menjadi ‘coba-coba’.
Cara ini di satu sisi baik sebagai pembelajaran eksperimental, tapi di sisi lain bisa berakibat fatal jika tanpa bimbingan.
Dan jika lagi-lagi ada penghalang atau hambatan, peluang frustasi dan stresnya menjadi lebih besar.
Yang lebih parah jika mereka menerjemahkan posisi orang tua hanya sebagai penuntut keberhasilan tanpa solusi. Maka halangan atau hambatan bukan hanya sedang bertabrakan dengan idealismenya tapi juga dengan tuntutan orang tua.
Mungkin tidak heran jika sebuah survei yang dilakukan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey atau I-NAMHS tahun 2022, menunjukkan bahwa sekitar 5,5 persen remaja didiagnosis memiliki gangguan mental. Dan hal ini merupakan angka yang memprihatinkan.
Sangat perlu untuk menggali kedekatan remaja dengan lingkungan Islami. Karena problem mental health ini tak ditemukan di kalangan remaja generasi awal-awal Islam.
Jangan anggap biasa penyimpangan perilaku remaja. Karena sebenarnya, mereka sedang sangat membutuhkan ‘teman’ dari pihak orang dewasa. [Mh]