ChanelMuslim.com- Tidak semua tentang corona bercerita soal krisis. Salah satunya sepeda. Siapa sangka, di tengah anjloknya sektor ekonomi, trend dagangan sepeda justru melonjak. Tiba-tiba, sebagian besar orang kepincut kendaraan asli tenaga kaki ini.
Trend itu mungkin rahasia Tuhan. Tidak disangka, tidak bisa juga dikira-kira. Salah satunya tentang sepeda. Tua, muda, pria wanita, dan anak-anak sekali pun berbondong-bondong beli sepeda. Tak peduli soal harga, yang penting bisa punya sepeda.
Sebenarnya, tidak ada bedanya antara bersepeda sebelum masa wabah ini dengan saat wabah mulai dianggap biasa. Sama-sama digoes, dan sama-sama menggunakan tenaga kaki. Tapi entah kenapa, tiba-tiba orang mengalami hipnotis yang sama: sepeda.
Jadi, wabah yang saat ini dialami Indonesia bukan sekadar corona. Tapi, juga kegandrungan dengan sepeda. Bayangkan, CFD atau hari bebas kendaraan di sejumlah kota besar termasuk DKI Jakarta saja, sudah menggeser penyajiannya dari jalan santai dan joging kepada area khusus bersepeda.
Sepeda menggantikan keinginan warga berolah raga dari berjalan sehat kepada bergoes sehat. Dari berjalan santai bersama keluarga, menjadi bersepeda santai konvoi keluarga.
Bersepeda seperti memiliki muatan baru yang berbeda dari sebelumnya. Dari yang dianggap sebagai alat transportasi sederhana. Kini, tiba-tiba menjelma menjadi trend transportasi yang tidak biasa. Di mana tidak biasanya?
Saat ini, orang seolah memperlakukan sepeda bukan sekadar alat transportasi. Bukan juga sekadar sarana untuk berolah raga. Melainkan, pemenuhan kepuasan baru dari sumpeknya suasana serba di rumah dan serba dalam ruangan yang sangat menyiksa.
Bersepeda seperti menjelma menjadi fenomena kesumpekan massal, khususnya warga kota, yang selama empat bulan terkurung dalam rumah. Tapi kenapa harus sepeda, bukan mobil atau motor?
Kesumpekan serba di rumah selama empat bulan lebih, bukan sekadar menghasilkan endapan kejenuhan suasana. Ketika ini yang dipahami, sebagian orang sudah mencobanya untuk berpergian ke tempat yang agak berbeda pasca PSBB berakhir. Ada yang ke puncak, pantai, atau sekadar keliling sekecamatan dan kampung.
Namun, yang terpuaskan hanya kesumpekan suasana saja. Ada satu kesumpekan lain yang belum terpuaskan. Yaitu, selama di rumah dan ruangan, potensi energi fisik kurang tersalurkan semestinya. Mau jalan kaki, rasanya sangat melelahkan. Mau lari-lari, rasanya terlalu ekstrim, dari serba diam tiba-tiba melompat ke lari-lari. Dan akhirnya, yang cocok dipilih hati dan rasa adalah bersepeda.
Dengan bersepeda, energi yang dikeluarkan tidak terlalu berat. Tidak juga dinihilkan seperti ketika berada di mobil atau motor yang serba mesin. Tapi, dengan bersepeda, bisa disalurkan potensi energinya yang selama ini mengendap percuma dengan posisi santai dan sekaligus bisa menyejukkan mata.
Menyejukkan mata juga kecenderungan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jika dengan mobil dan motor, mata kurang disejukkan secara detil. Pemandangan beralih begitu cepat. Dengan bersepeda, mata bisa menikmati sajian-sajian “alam” di sekitar jalan menjadi lebih detil, kongkrit, utuh, dan bisa memuaskan diri dari kesumpekan dalam kungkungan serba di rumah.
Sepeda juga sebagai wujud kendaraan untuk semua kalangan ekonomi: bawah, menengah, hingga atas. Rentang harganya begitu panjang, dan tidak ada yang sepanjang rentang harga sepeda. Mulai dari ratusan ribu hingga ratusan juta, bahkan milyaran rupiah.
Menariknya, rentang harga ini, nyaris, sedikit pun tak mengubah tampilan luar sepeda. Hal ini berbeda dengan mobil dan motor yang begitu ekstrim soal gradasi tampilan dan rentang harga. Misalnya, motor harga sepuluh jutaan ukurannya kecil dan serba plastik. Sementara, yang harga ratusan juta wujudnya bongsor dan serba hiasan besi mengkilat.
Mobil pun begitu, yang harganya seratus jutaan biasanya kecil dan terlihat jelas agak rentan. Tapi yang milyaran begitu longgar dan bongsor. Hal yang tidak dialami dalam dunia sepeda. Mau yang ratusan ribu hingga yang ratusan juta, ukurannya tetap sama, rodanya juga nyaris tak berbeda, tenaganya juga sama: kaki. Hanya kenyamanan dan gengsinya saja yang terasa agak beda. Itu pun tak bisa dilihat secara sekilas.
Akhirnya, jadilah sepeda sebagai kendaraan yang sangat egaliter dan menyamakan semua kelas dalam satu suasana. Tidak ada miskin dan kaya. Tidak ada pejabat dan rakyat biasa. Ketika bersepeda, semuanya terlihat sama: sama berkeringat, sama-sama kaki bergoes dan tangan memegang ujung setang. Panas, sama-sama kepanasan, dan hujan sama-sama kehujanan.
Inilah sepeda. Sebuah fenomena baru yang bukan sekadar kendaraan dan sarana berolah raga. Melainkan, sebuah fenomena baru tentang pencarian obat kesumpekan dan kejenuhan pasca kungkungan wabah corona. (Mh)