ChanelMuslim.com- Hampir dua bulan corona ngetop di negeri kita. Sejumlah hal baru mulai tampak. Hal yang menjadikan sesuatu menjadi seperti serba terbalik. Terutama nilai-nilai yang seumur hidup seperti itu adanya, kini jadi terasa berbeda seratus delapan puluh derajat.
Apa saja? Berikut ini di antara yang kita rasakan dan alami.
Dua bulan lalu, hampir semua orang merasa risih dengan sosok orang yang tampil di tempat umum dengan penutup wajah. Apa pun alasannya. “Nggak sopan! Ekslusif!” Dan lain-lain. Bukan simpati yang didapat, justru curiga.
Kini, siapa pun yang ingin berada di tempat umum tidak ingin tampil tanpa penutup wajah. Bukan hanya kaum muslimah. Semua, termasuk tentara dan anak-anak. Bukan karena takut dihukum atau dipaksa, tapi karena corona.
Dua bulan lalu, keakraban ditandai dengan bersalaman yang erat atau berpelukan badan. Tapi kini, keakraban cukup ditandai dengan isyarat gerak tangan dengan tanpa bersentuhan. Bukan karena ada ajaran baru. Tapi, karena corona.
Dua bulan lalu, kesalehan seorang pria bisa diukur dari seringnya ia berkunjung ke masjid. Mungkin karena tujuan shalat atau majelis taklim. Kalau ada yang tetap di rumah hingga usai panggilan azan, ada indikasi kurang taat.
Tapi kini, justru yang tetap datang ke masjid saat panggilan azanlah yang ada indikasi kurang taat. Bukan karena ada nilai baru dari penafsiran ayat. Tapi, karena corona.
Dua bulan lalu, penuhnya masjid saat shalat Jumat di suatu kampung menunjukkan tingginya ketaatan umat Islam di kampung itu. Tapi kini, justru kampung yang masjidnya masih penuh saat shalat Jumat menunjukkan indikasi pembangkangan.
Dua bulan lalu, mal, bioskop, tempat wisata, adalah tempat impian sebagian orang untuk dikunjungi. Tapi kini, justru tempat-tempat itulah yang paling ditakuti untuk dikunjungi.
Bukan karena tempat-tempat tersebut tidak lagi nyaman. Atau harga-harga barangnya yang sudah tidak terjangkau. Tapi, karena corona.
Dua bulan lalu, orang yang empati adalah mereka yang suka mengunjungi sanak kerabat untuk berbagi cerita. Tapi kini, justru yang paling empati adalah mereka yang cukup bercerita dari jarak jauh tanpa saling mengunjungi.
Bukan karena ada perselisihan baru antar sanak kerabat. Tapi, karena corona.
Dua bulan lalu, sebagian pemuda menganggap kafe atau warung-warung pinggiran jalan sebagai tempat yang paling nyaman untuk bersantai. Tapi kini, justru di tempat-tempat itulah kerap terjadi pencidukan oleh aparat keamanan.
Bukan karena aparat keamanan lebih sadis atau kejam. Tapi karena corona.
Dua bulan lalu, kebanyakan orang menjadikan minyak wangi sebagai sesuatu yang selalu ada di saku atau tas. Tapi kini, ada sesuatu lain yang jauh diperhatikan orang dari sekadar minyak wangi, yaitu cairan pencuci tangan.
Dua bulan lalu, pemerintah memandang para pemudik dengan welas asih, peduli, dan serba ingin memudahkan. Tapi kini, siapa pun yang ingin tetap mudik akan ada hukuman atau denda.
Dua bulan lalu, orang-orang di kampung akan menyambut penuh suka cita kepada mereka yang berbondong-bondong pulang kampung. Tapi kini, siapa pun yang tiba di kampung akan dikurung dua pekan. Bahkan, ada yang diusir untuk kembali ke tempat asal.
Dua bulan lalu, dokter adalah profesi yang paling menyenangkan. Sedikit kesibukan, banyak menghasilkan uang. Tapi kini, profesi dokterlah yang paling beresiko kematian. Jangankan bergelimang uang, sekadar makan dan pulang ke rumah pun seperti terlarang.
Dua bulan lalu, kata negatif adalah ungkapan yang paling tidak disukai. Kini, justru kata positiflah yang paling ditakuti.
Dua bulan lalu, kantor dan sekolah akan menghukum pegawai dan siswanya yang beraktivitas di rumah saja. Tapi kini, justru kantor dan sekolahlah yang mewajibkan mereka untuk tetap di rumah.
Dua bulan lalu, Amerika dan Eropa menjadi negara kebanggaan yang diidolakan semua orang. Orang-orang bermimpi untuk bisa singgah di sana, sukur-sukur bisa menetap di sana. Tapi kini, dikasih uang pun orang berpikir tiga kali untuk sekadar mampir di sana.
Bukan karena Amerika dan Eropa tidak lagi cantik dan kaya. Tapi, karena corona.
Dua bulan lalu, ruang-ruang publik berpendingin udara menjadi tempat yang menyenangkan bagi semua orang. Tapi kini, tempat-tempat itulah yang paling dihindari.
Zaman corona, tanpa disadari, telah membentuk budaya baru yang sangat berbeda dari sebelumnya. Sebuah budaya tanpa banyak gerak, tanpa menghitung soal jarak, dan tanpa saling langsung bertatap wajah.
Ada sisi baiknya ketika orang-orang dipaksa untuk selalu bersama keluarga di rumah. Tapi, boleh jadi, akan tumbuh sisi buruk yang secara perlahan bisa tumbuh menjadi yang tidak kita inginkan. Yaitu, menjadi kurang peduli dengan yang di luar keluarganya.
Corona boleh jadi menjadi momen yang baik untuk menguji ketaatan umat untuk syariat yang baru dipahami sekarang. Bahwa, bukan perintah saja yang harus ditaati. Tapi, larangannya pun sama. Dan itu pun bagian dari sunnah.
Namun, jangan lengah. Karena kebiasaan berhari-hari, berpekan-pekan, bahkan bulan; dengan tidak menyambut seruan azan karena tetap ibadah di rumah akan membekas buruk untuk kemudian waktu. Beristigfarlah, karena ibadah wajib kita memang bagusnya tidak di rumah.
Jangan merasa aman dengan kita tidak ke masjid. Bermuhasabahlah, karena boleh jadi, bukan kita yang secara sadar tidak mau datang ke masjid karena corona. Tapi, karena Allah Yang Maha Agung merasa tidak perlu rumahNya dikunjungi kita-kita. (Mh)