MANUVER politik langka berlangsung di Kota Solo. Anies Baswedan bertemu dengan Gibran di sebuah hotel, Selasa (15/11). Keduanya sarapan bersama dan satu mobil untuk menghadiri haul Habib Ali di Pasar Kliwon, Solo.
Politik Indonesia memang unik. Sebuah pemandangan menarik berlangsung di Kota Solo ketika Anies Baswedan bertemu dengan Gibran. Keduanya tampak akrab, sedikit pun seperti tidak ada rasa canggung.
Hal ini boleh jadi memang dimaksudkan seperti itu. Yaitu, adanya keakraban sesama generasi baru meskipun generasi lamanya seperti air dan minyak.
Di satu sisi, Gibran seolah ingin menunjukkan bahwa ia berbeda dengan bapaknya. Berbeda pula dengan partai yang mengasuhnya.
Gibran seperti ingin menunjukkan bahwa ia bukan cerminan dari bapaknya. Bukan pula seperti sealiran dengan warna kebijakan partai yang mengasuhnya.
Sementara Anies juga seperti ingin menunjukkan wisdomnya sebagai generasi yang lebih senior dari Gibran. Ia seperti menunjukkan ‘fine-fine’ saja bergaul dan akrab dengan siapa pun, meskipun dengan sosok yang berseberangan dengannya.
Fenomena ini seperti ice breaking dari dua kubu yang seolah saling berhadapan secara diametral. Karena Gibran bisa dibilang mewakili dua pihak yang selama ini bisa dibilang memusuhi Anies: istana dan partainya.
Reaksi pun terjadi dari dua kubu tersebut: pendukung Anies dan lingkungan Gibran.
Mungkin ada pro kontra di pendukung Anies. Tapi, kontranya lebih rasional dari yang muncul di lingkungan Gibran. Pendukung Anies seperti memaklumi karena Anies perlu suasana kondusif di saat berada di basis ‘lawan’.
Sementara yang kontra di kubu Gibran boleh jadi akan seperti dipermalukan. Bagaimana mungkin politisi yang dianggap masih junior bisa-bisanya ‘nyelonong’ di permainan yang sensitif.
Hal ini karena gestur yang selama ini diperlihatkan pimpinan partai yang mengasuh Gibran sangat tidak bersahabat dengan Anies. Begitu pun dengan penampakan wajah istana.
Terlebih lagi, Gibran berada di wilayah yang begitu sarat dengan budaya Jawa. Di mana yang muda seperti tabu melangkahi yang tua.
Kedua, Anies dan Gibran satu mobil untuk bersama-sama menuju ke acara haul tokoh Islam di Solo. Tentu ini juga menguntungkan posisi politik kedua belah pihak.
Anies seperti sukses ‘mengajak’ Gibran untuk dekat dengan habaib dan ulama. Sementara Gibran seperti terbebas dari kelanjutan stigma terhadap bapaknya yang anti Islam.
Tentu akan ada dampak dan kelanjutan dari pertemuan ini. Soal siapa yang mendapatkan ‘untung’ lebih, waktu pula yang akan membuktikannya. [Mh]