ChanelMuslim.com- Ada yang berbeda di Idul Fitri kali ini. Momen bahagia umat Islam dunia ini datang di saat pandemi masih mengancam. Lalu, bagaimana meluapkan kebahagiaan jika suasana dalam kepungan bahaya?
Ada kaidah fikih yang saat ini ngetop di kalangan umat Islam. Kaidah itu menyebutkan, ‘Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil masholih’. Artinya, menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada meraih maslahat atau kebaikan.
Semua kegiatan berlebaran bernilai sangat baik. Mulai dari takbiran di malam Idul Fitri, Shalat Id berjamaah, hingga keliling kampung menyambung tali silaturahim. Dan semuanya terjadi hanya setahun sekali.
Namun, semua kegiatan itu juga tidak akan semarak tanpa dalam suasana kerumunan. Padahal, kerumunan atau suasana banyak orang inilah berpotensi besar terjadinya penularan. Dan yang repotnya lagi, kita tak pernah tahu apakah orang yang bersama kita sudah terinfeksi atau belum. Karena sebagian besar wabah ini tidak menunjukkan gejala yang jelas alias OTG: orang tanpa gejala.
Satu saja anggota keluarga kita yang tertular, hampir bisa dipastikan, semua anggota keluarga lain juga akan ikut tertular.
Inilah yang membedakan wabah corona dengan wabah lain seperti DBD, TBC, dan lainnya. Di wabah-wabah tersebut gejala begitu terlihat. Semua yang terjangkit DBD selalu diiringi dengan panas tinggi, bintik merah, dan lainnya. Begitu pun dengan TBC yang menunjukkan penderitanya ‘gemar’ batu-batuk.
Namun corona, justru sebaliknya. Sebagian besar penderita wabah ini tidak menunjukkan gejala yang berarti. Alias sehat-sehat saja. Dan melalui dialah corona terbawa ke rumah kita.
Kita juga tidak bisa beranggapan, penyakit ini kan hanya berbahaya untuk yang usia tua. Buat yang muda sih oke-oke aja. Tapi, justru dari yang mudalah orang-orang tua kita di rumah menjadi “terjembatani” dengan penyakit corona. Dan hal itu bisa berakibat fatal buat mereka.
Inilah bahayanya. Dari kaidah fikih itu kita bisa menyimpulkan, stop semua momen kerumunan walaupun bernilai sangat baik, demi menjaga kesehatan kita dan keluarga.
Lha, bukankah kita bisa berkerumun dengan mengenakan masker dan jaga jarak? Jawabannya sederhana. Kalau kerumunan di momen yang biasa-biasa saja, seperti belanja, rapat, arena hiburan; kesadaran untuk menjaga jarak mungkin mudah dipatuhi.
Namun, jika momennya Lebaran yang setahun sekali, teramat sulit untuk bisa jaga jarak dengan penuh kesadaran. Tidak ada acara masjid yang luber jamaahnya melampaui lubernya di momen shalat Idul Fitri. Dan tidak ada ramainya kunjungan tamu ke rumah melampaui ramainya kunjungan di saat Lebaran. Lebaran memang luar biasa.
Tidak heran jika ulama dan pemerintah bersepakat untuk melindungi umat dan warganya dengan seruan ‘Lebaran di Rumah Saja’. Mulai dari momen malam takbiran, Shalat Idul Fitri, hingga berkeliling silaturahim.
Apa asyiknya Lebaran di rumah saja? Ya memang tidak ada asyiknya. Karena momen Lebaran memang identik dengan kebersamaan dan kerumunan. Tapi, Allah swt. telah menganugerahi kita akal untuk difungsikan sebaik-baiknya.
Dengan kata lain, coba cari cara agar Lebaran bisa sangat meriah dan berkesan meskipun jangkauannya hanya di halaman, ruang tamu, ruang keluarga, kamar, dapur, dan ruang belakang rumah kita. Dan salah satu cara itu adalah dengan mengoptimalkan sarana teknologi ponsel kita.
Begitu banyak aplikasi yang menawarkan perjumpaan dengan kelompok orang tanpa harus bertemu fisik. Bisa dengan aplikasi Zoom, WA video yang sudah bisa delapan orang, Google Duo, dan lain-lainnya. Tinggal kuota internetnya saja yang disiapkan.
Tapi juga nggak asyik kalau tanpa makan-makan bersama? Di situasi wabah yang mengancam seperti ini, mungkin kita perlu merevisi kata asyik dengan berbagai penyesuaian.
Selalu ada hikmah di tiap musibah. Dan selalu ada jalan di tengah kebuntuan. Cobalah diresapi dalam-dalam hikmah yang bisa kita raih di suasana Lebaran saat ini. Bukankah di momen “nyepi” seperti inilah kita bisa lebih khusyuk menyimak suasana benteng kita: keluarga. Dan di suasana inilah, semua luapan bahagia yang biasa kita sebar ke semua orang, bisa kita fokuskan untuk orang-orang terkhusus: ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, dan anak-anak kita.
Tidak ada suasana bahagia yang melebihi teraihnya kebahagiaan bersama keluarga. Inilah kebahagiaan hakiki, dunia dan akhirat. Bukan kebahagiaan semu yang terkemas dengan semaraknya aksesoris baju Lebaran kita. (Mh)