?
ChanelMuslim.com – Dikatakan bahwa kebutuhan gelatin di Indonesia, sebagai bahan untuk berbagai produk industri, sepenuhnya masih diimpor dari luar. Termasuk untuk membuat cangkang kapsul pada industri farmasi. Pernah ada upaya beberapa perusahaan domestik untuk memproduksi gelatin, namun tidak dapat berlanjut. Karena kesulitan bahan baku. Sehingga karenanya, harus diwaspadai, terutama oleh para konsumen Muslim. Hal tersebut disampaikan oleh Ir. Nur Wahid, M.Si., Kepala Bidang Training & Sertifikasi Personal LPPOM MUI.
“Karena gelatin itu harus diimpor, seperti dari China, Australia dan negara-negara di Eropa, dll, maka tentu harus dicermati aspek kehalalannya,” jelasnya dalam kata pengantar pada pembukaan Training Sistim Jaminan Halal (SJH), Selasa (7/2) di Global Halal Center Bogor.
Gelatin itu sendiri, jelasnya diproduksi terutama dari bahan baku kulit maupun tulang hewan. Bahan-bahan itu dikumpulkan oleh produsen gelatin dari berbagai (banyak) Rumah Potong Hewan (RPH). Satu industri gelatin, tidak cukup kalau memperoleh bahan baku hanya dari satu RPH.
“Sebab, rendemen bahan baku tulang itu sangat rendah, untuk dibuat menjadi gelatin. Hanya sekitar 15-20%. Dari 1 ton tulang, misalnya, hanya dapat dibuat sekitar 200 kg gelatin. Maka, kalau satu industri gelatin memiliki kapasitas produksi 1 ton per harinya, tentu diperlukan sangat banyak bahan baku tulang, yang tidak mungkin akan dapat dipenuhi hanya dari satu RPH,” terangnya.
Titik Krusial
Yang menjadi titik krusial dalam konteks ini,tegas Nur Wahid tidak semua RPH di luar negeri itu didedikasikan untuk menyembelih hewan yang halal saja. Karena sangat mungkin terjadi, satu RPH dioperasikan untuk menyembelih sapi yang halal, misalnya, dan banyak RPH lainnya untuk menyembelih sapi dan/ataupun babi, atau juga hanya babi saja, yang jelas tidak halal dalam Islam.
Sedangkan untuk produksi gelatin yang halal, tentu harus diperoleh dari RPH yang hanya dioperasikan untuk menyembelih hewan yang halal saja.
“Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi, dan pada kenyataannya memang demikian, yakni bahwa gelatin yang merupakan bahan untuk membuat cangkang kapsul itu dibuat dari tulang dan/atau kulit babi. Sehingga karenanya tentu harus diwaspadai dan dicermati aspek kehalalannya,” ia menandaskan seperti dilansir laman halalmui.org.
Lebih lanjut lagi, kalau gelatin diproduksi dari bahan kulit hewan, tambahnya pula, maka kondisinya menjadi lebih rumit, dan tingkat krusialnya lebih tinggi lagi.
Sebab, kulit itu tidak termasuk ke dalam kategori produk pangan, tetapi dianggap sebagai bahan industri. Karena dapat diolah menjadi bahan untuk produk sepatu, sabuk, jaket kulit, dan lain-lain. Sehingga tidak ada klasifikasi kulit yang halal maupun haram.
Selain itu, gelatin dari tulang sapi juga harus dicermati kehalalannya, ditinjau dari sisi penyembelihan sapi itu sendiri.
“Sebab, lagi-lagi, di luar negeri sana, tidak semua RPH sapi sekalipun, didedikasikan hanya untuk penyembelihan halal,” jelasnya.
Nur Wahid menambahkan meskipun gelatin dibuat dari tulang sapi, tapi kalau sapinya tidak disembelih sesuai dengan kaidah syariah, maka tetap saja menjadi tidak halal untuk konsumsi umat Muslim. Dan dengan demikian, bahan tulang untuk produksi gelatin juga menjadi tidak halal.
“Oleh karena itu, produksi gelatin itu tentu harus diaudit dengan cermat dalam proses sertifikasi halal, guna menjamin kehalalan produk gelatin untuk konsumsi umat Muslim,” tambahnya.
Menghitung Mass Balance
Dalam proses audit pada industri gelatin, yang dilakukan oleh tim auditor LPPOM MUI, diantaranya adalah dengan menghitung Mass Balance, atau perhitungan keseimbangan massa.
“Yakni dengan menghitung kapasitas produksi gelatin yang dihasilkan secara faktual oleh industri yang diaudit (yang mengajukan proses sertifikasi halal) dengan ketersediaan bahan baku tulang dari hewan yang halal, dan keberadaan RPH yang memasok tulang dari hasil sembelihan yang halal,” ucap Nur Wahid dihadapan peserta.
Dengan penghitungan Mass Balance itu, katanya dapat diketahui tingkat rasionalitas dan proporsionalitas produksi gelatin yang halal, dari industri yang diaudit.
“Kalau tingkat produksi gelatin mencapai kapasitas tertentu, sementara pasokan tulang atau kulit yang halalnya tidak sesuai, maka tentu akan dapat dipertanyakan keabsahannya,” tutup Nur Wahid dalam siaran pers Halal MUI.
(jwt/*)