ChanelMuslim.com- Reuni Akbar 212 ternyata memang benar-benar akbar. Bahkan bisa dibilang lebih akbar dari momen asalnya di tahun 2016. Kenapa bisa begitu?
Boleh jadi, tak seorang pun yang mengira sedemikian besarnya peserta Reuni Akbar 212. Tak juga pemerintah, intelijen, bahkan juga panitia.
Yang namanya reuni biasanya selalu dihadiri oleh kurang dari seratus persen peserta di momen asalnya. Jarang sekali, sebuah reuni dihadiri oleh seratus persen peserta seperti acara asalnya. Apalagi bisa berlebih.
Pertanyaan yang muncul di banyak benak saat ini, termasuk mungkin juga pihak keamanan, kenapa bisa seperti itu? Apa yang memotivasi orang yang tidak terikat dalam ikatan formal selain satu akidah bisa tergerak untuk mengorbankan waktu, tenaga, biaya, bahkan nyawa; untuk dengan sukarela hadir di acara yang tidak memberikan “apa-apa”.
“Apa-apa” adalah simbol dari sesuatu yang bernilai di dunia materialis seperti saat ini. Seperti uang, sembako, gengsi, jabatan, dan lainnya.
Bagaimana mungkin acara yang tidak menjanjikan “apa-apa” itu bisa dihadiri oleh peserta yang sedemikian banyak. Dan bahkan bisa dibilang terbesar di dunia, dan mengalahkan jamaah haji di Mekah dan Madinah sekali pun.
Jumlah jamaah haji berkisar dua jutaan menurut kuota pemerintah Arab Saudi. Tapi yang hadir di Reuni 212, meski sulit dihitung secara pasti, panitia memperkirakan jumlahnya mencapai 10 juta orang. Atau lima kali jamaah haji di Mekah dan Madinah.
Kalau jamaah haji di Mekah dan Madinah bisa mencapai jutaan itu masih dalam kategori wajar. Karena, dalil Quran dan Sunnah memberikan janji adanya pahala dari Allah swt. Sekaligus, sebagai kewajiban syariat bagi umat Islam.
Namun, bagaimana dengan yang hadir di 212? Siapa yang bisa memberikan dalil kalau mereka yang hadir di Monas akan dijamin pahalanya seperti kehadiran jamaah haji di Mekah dan Madinah. Karena acara 212 di Monas bukan ritual peribadahan Islam, melainkan sebagai gerakan sosial keagamaan.
Dari situ, semua pihak bertanya-tanya apa yang memotivasi jutaan orang itu untuk tergerak melakukan berbagai pengorbanan demi hadir di acara Reuni 212.
Jawaban dari pertanyaan ini teramat sulit dicerna oleh mereka yang terbiasa dengan matematika materialis. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan kepentingan politik praktis. Karena siapa pun di negeri ini, calon presiden, partai politik, tokoh agama, atau siapa pun tak akan mampu mengumpulkan massa sebanyak itu. Meski dengan iming-iming “apa-apa”.
Tafsir satu: bersama melawan penista agama.
Momen asal Aksi 212 adalah ungkapan sikap perlawanan umat Islam terhadap penistaan agama yang dilakukan mantan gubernur DKI Jakara yang didukung oleh partai yang berkuasa.
Yang bersangkutan memang telah dihukum. Tapi, umat Islam melihat dan menyaksikan dengan begitu transfaran bagaimana sosok si penista ini mendapat posisi yang begitu istimewa oleh rezim yang berkuasa.
Hal ini terlihat dari alotnya proses hukum saat itu. Selain itu, perlakuan istimewa kerap diterima oleh sang penista selama proses hukum berlangsung. Begitu lama dan begitu menguras tenaga.
Itu pun setelah pilkada DKI Jakarta dimenangkan oleh pasangan Anies Sandi secara hitung cepat. Boleh jadi, tidak demikian kejadiannya jika hasil pilkada menghasilkan yang sebaliknya.
Proses hukum dan politik yang begitu alot dan berkepanjangan, serta begitu telanjangnya dukungan politik dari penguasa; menjadikan umat Islam diperlihatkan oleh sebuah pemandangan nyata tentang siapa penista agama dan siapa yang mendukungnya.
Umat Islam telah diajarkan bahwa hukum orang yang melakukan penistaan agama bernilai sama dengan mereka yang mendukung dan membelanya.
Dalam banyak hal, seperti kebijakan politik, ekonomi, hukum, dan lainnya yang kurang berpihak, umat Islam memang sangat toleran. Karena umat ini sudah terlatih untuk bersikap toleran dalam hal duniawiyah.
Namun, jangan anggap enteng dengan yang namanya penistaan terhadap agama. Karena kemuliaan agama inilah asset terbesar dan terakhir dan satu-satunya yang dimiliki umat Islam Indonesia saat ini.
Mereka seperti mengatakan, “Silakan kalian ambil posisi politik kami. Silakan kalian rampas hak ekonomi kami. Silakan kalian manipulasi hukum yang berlaku untuk kami. Tapi, jangan sekali-kali kalian permainkan kemuliaan agama kami!”
Tak ada kata dan sikap untuk yang terakhir tadi selain lawan dan lawan. Namun, lagi-lagi jangan salah paham tentang umat Islam. Mereka bukan kelompok primitif, bukan orang-orang anarkhis dengan sebutan radikal yang selama ini kalian tuduhkan; umat Islam adalah umat yang sangat beradab. Bahkan, jauh lebih beradab dari bangsa maju mana pun.
Jadi, mohon pahami tafsir ini. Pahami di balik makna berkumpulnya jutaan umat yang dilakukan secara santun, tertib, damai, dan beradab. Jangan justru malah melontarkan tuduhan-tuduhan baru yang memunculkan penistaan terhadap umat Islam.
Inilah protes dari orang-orang beradab. Sekali lagi, tolong pelajari, renungkan, dan pahami. Itu pun jika kalian memang mempunyai pandangan yang jernih dengan dunia yang beradab. (mh)