ChanelMuslim.com- Koalisi oposisi hampir bisa dipastikan akan dibentengi empat partai politik: Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. Dari koalisi ini pula, 99 persen capresnya Prabowo, sementara cawapresnya masih berkutat di otak-atik dukungan.
Sosok Prabowo memang kian kuat dipersepsikan sebagai satu-satunya “penantang” Jokowi. Segala strategi pun sudah diancang-ancang untuk bisa saling mengimbangi dan mengalahkan lawan.
Salah satu variabel yang juga tidak kalah pentingnya saat ini adalah sosok cawapres. Dalam variabel ini pula, bukan hanya koalisi oposisi yang masih belum menemukan titik temu; di kubu petahana pun boleh jadi lebih ruwet.
Namun, faktor penentu di dua pasangan tersebut menjadi seperti terbalik. Jika di petahana sosok cawapres dianggap tidak begitu menjadi faktor penentu karena sorotan ada pada Jokowi, sementara sosok pendamping Prabowo justru menjadi kartu kunci menang kalahnya koalisi ini.
Hal ini dikarenakan Prabowo bukan penantang perdana. Melainkan, untuk yang kedua kali. Bahkan jika dirunut ke belakang, Prabowo pun sudah pernah ikut mendampingi Megawati saat bertarung di pemilu beberapa periode lalu. Dan hasilnya, sama alias belum seperti yang diharapkan.
Tidak heran jika sosok cawapres di koalisi oposisi ini bukan lagi sebagai pelengkap. Bukan juga sebagai pendukung untuk kebutuhan apa pun seperti logistik. Melainkan sebagai penentu untuk menarik dukungan yang luar biasa dari faktor penarik yang juga luar biasa.
Jika berhitung dari kalkulasi ini, mestinya tim Prabowo harus menyiapkan strategi besar untuk sosok cawapresnya, dan bukan pada Prabowonya.
Menimbang AHY sebagai Pendamping Prabowo
Tampilnya sosok Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY sebenarnya bukan pemandangan baru di pentas 2019. Banyak kalangan sudah memprediksi hal itu. Namun, belum mendapatkan kepastikan apakah AHY sebagai pendamping di Jokowi atau lawannya.
Kelebihan dari AHY adalah sosok yang bisa dibilang pengulangan dari ayahnya yang sukses mendulang suara di atas 60 persen untuk dua periode pemilu: penampilan sempurna sebagai pemimpin bangsa.
Namun, satu hal yang mestinya sudah masuk dalam variabel perhitungan adalah masa atau zamannya sudah berbeda. Kemenangan Jokowi saat melawan Prabowo merupakan bukti adanya perubahan itu. Bahwa rakyat tidak lagi melulu tertuju pandangannya pada penampilan, tapi juga pada kebutuhan dan isu yang sedang berkembang.
Pilkada Jakarta adalah contoh lain. Masuknya sosok AHY di saat atau isu yang kurang tepat, menjadikan AHY berada di urutan ketiga dalam perolehan suara. Walaupun mungkin, kekuatan logistiknya saat itu begitu kuat. Sekali lagi, kekuatan kebutuhan rakyat dan isu yang sedang berkembang saat pemilu itu mampu mengalahkan kekuatan apa pun termasuk penampilan dan logistik.
Antara Dukungan Umat Islam dan Kekuatan Logistik
Disadari atau tidak, kekuatan logistik terlebih lagi dalam pentas nasional seperti pemilu serentak 2019 menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Tidak heran jika tidak sedikit parpol yang merapat pada kekuatan logistik itu
Kelemahan di kalkulasi logistik ini adalah pada tumbuhnya kesadaran rakyat yang makin pesat. Rakyat tidak lagi mudah diperdaya dengan sogokan uang. Mereka lebih cenderung pada pilihan idealisme yang dibutuhkan: jujur dan amanah. Faktor ini pula yang mengantarkan Jokowi sukses sebagai presiden di pemilu lalu, sekaligus sekses memperjuangkan pasangan Anies Sandi di Pilkada Jakarta.
Soal adu program dan kebijakan ril untuk rakyat sepertinya sudah hanyut terbawa arus krisis kepercayaan rakyat terhadap pemimpin mereka. Adu program dan kebijakan ril tak lebih dari sekadar kemasan jualan saat kampanye, dan akan terlupakan begitu saja saat sang calon pemimpin memperoleh kemenangannya.
Hal itulah yang menggerakkan para ulama GNPF untuk mencari terobosan. Mereka tidak lagi mempersoalkan sosok Prabowo sebagai pemimpin oposisi, tapi lebih memperjelas siapa faktor penentu kemenangannya di Pilpres 2019: cawapres pilihan ulama.
Dengan kata lain, multi efek Prabowo bukan pada sosok Prabowonya. Bukan juga pada posisi oposisi, bahkan juga kekuatan logistik sebesar apa pun. Melainkan pada sosok jujur dan amanah yang ada pada calon wakilnya.
Inilah multi efek yang dinilai sangat dahsyat. Dan sangat cocok dengan kebutuhan dan isu yang berkembang di seluruh rakyat Indonesia saat ini. Bukan untuk jualan isu SARA, tapi untuk mempersilakan ulama untuk menunjukkan perannya, yang tak lagi diragukan kejujuran dan amanahnya. (mh)