Oleh: Sapto Waluyo (Center for Indonesian Reform)
ChanelMuslim.com- Anggota parlemen, sesuai namanya (bahasa Perancis, parler: berbicara), memang digaji dan ditugaskan untuk berbicara. Bukan sembarang bicara, tapi menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Karena itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus memahami segala persoalan yang sedang dihadapi rakyat dan menguasai berbagai cara agar persoalan itu dapat diselesaikan. Jadi, berbicara (retorika) hanya salah satu metoda untuk menyelesaikan persoalan dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Metoda lain? Diam. Bukan berarti tidak bekerja, melainkan bertindak nyata sesuai dengan lingkup tugas wakil rakyat, yakni: membuat undang-undang (legislasi), merancangan anggaran publik (budgetting), dan mengawasi jalannya pemerintahan (political control). Politik diam itu terdengar aneh di tengah ingar-bingar unjuk wicara dan gebyar pencitraan. Kinerja anggota parlemen sering diukur dengan indikator: seberapa sering namanya muncul di media arus utama atau seberapa mampu dia membuat tagar yang menjadi trending topic tentang isu publik yang diadvokasinya. Karena sudah melekat bagi sebagian politisi, retorika merupakan salah aspek penting strategi barking and bargaining (berteriak dan bernegosiasi). Semakin kencang teriakan terhadap suatu isu atau instansi tertentu, semakin besar peluang untuk bernegosiasi seputar isu dan instansi itu.
Politik diam atau keheningan politis (political silence) menunjukkan karakter politisi berintegritas, tentu saja setelah berjuang mengadvokasi kepentingan publik secara optimal. Mereka akan bersuara jika diperlukan, bahkan suaranya mungkin terdengar aneh di tengah mayoritas pendukung status quo, tetapi mereka tidak goyah tatkala ditekan atau digoda kekuasaan. Tugas legislasi, penganganggaran dan kontrol publik memerlukan kompetensi dan ketekunan untuk memahami detail persoalan, disamping wawasan kebangsaan dan kerakyatan. Mungkin tugas pengawasan lebih mengandalkan retorika karena perlu menyadarkan dan mengajak partisipasi publik. Namun fungsi legislasi dan penganggaran harus mampu menerjemahkan aspirasi rakyat dalam pasal-pasal Rancangan Undang-undang dan nomenklatur anggaran publik. Tak cuma modal omdo (omong doang) atau asbun (asal bunyi).
Studi komunikasi mengungkapkan, diam adalah suatu bentuk tindakan komunikasi, bukan absennya komunikasi (Jaworski 1993). Ada beberapa tipe diam sebagai wujud komunikasi, yaitu: keheningan (stillness), jeda (pause), bungkam (silencing), dan diam fasih (eloquent silences) [Ephratt 2008]. Hening dan jeda merupakan aspek penting dari retorika untuk memberi tekanan dan perhatian pada suatu pesan. Misalnya, pemimpin yang sedang menyampaikan kondisi di saat bencana akan terdiam sejenak pada saat menyebut jumlah korban yang besar, bahkan nyawa satu orang warganya sungguh tak tergantikan. Momen itu akan memberikan kesan bahwa sang pemimpin memiliki empati tinggi dan patut dipercaya ucapannya. Tipe diam yang lain, bungkam dan kefasihan diam merupakan politik perlawanan dan pembangkangan (Jungkunz 2012). Strategi bungkam dan diam cerdas adalah protes terhadap dominasi atau hegemoni untuk mensiasati situasi sulit beresiko tinggi (Parpart 2010). Ketika parlemen dikuasai mayoritas koalisi status quo, maka suara minoritas oposisi mungkin hanya dianggap gangguan kecil. Tapi, sikap diam oposisi atau walk out dalam proses pengambilan keputusan akan memberi dampak kepada publik, bahwa pihak yang paling bertanggung-jawab apabila terjadi kesalahan kebijakan adalah mayoritas pendukung kemapanan. Mereka tak bisa lagi dipercaya membela kepentingan publik.
Dalam konteks diam penuh makna itu, kita belajar dari Kanda Mutammimul Ula, anggota DPR RI periode 1999-2004 dan 2004-2009. Dalam sunyi, Mas Tammim wafat pekan lalu (7/5/2020). Ratusan rekan sejawat, tetangga dan kerabat, serta murid-muridnya mengantarkan Ketua Umum PB PII (Pelajar Islam Indonesia, masa bakti 1983-1986) itu ke pemakaman. Saya beruntung ikut menshalatkannya dan menggotong keranda jenazahnya ke masjid dekat rumahnya.
Perkenalan dengan Mas Tammim bermula di masa SMA (1981-1983), ketika saya menjadi Ketua Rohis dan Ketua OSIS, kemudian aktif di organisasi ekstra sekolah PII. Waktu itu, saya masih menjadi Pengurus Komisariat PII Pugar (Pulogadung-Rawamangun), sedangkan Mas Tammim sudah menjadi Pengurus Besar PII yang bermarkas di Menteng Raya 58, Jakarta Pusat. Saya ingat keterampilan menulis pertama kali teruji di masa SMA dengan membuat buletin Jum’at. Buletin itu kami cetak dengan kertas stensil dan dijual di tiap kelas, lalu uangnya dimasukkan kas Rohis, serta sebagian untuk insentif pengurus. Saya lupa berapa harga jual buletin per lembar, tapi insentif pengurus bisa Rp 100-200 per pekan. Sekadar catatan ongkos transportasi bus kota saat itu sekitar Rp 100/pelajar dan harga bakso semangkok Rp 200, sementara kurs satu USD kisaran Rp 625.
Selain buletin Jum’at, kami juga membuat buletin organisasi pelajar dengan menu artikel isu-isu nasional dan global. Dengan modal iuran anggota dan sumbangan donatur, Pengurus Komisariat PII bisa membeli mesin stensil merek Gestetner buatan Jerman. Kami jadi menerima order cetak buletin, brosur, dan buku saku dari berbagai sekolah/lembaga. Saya dan beberapa orang kawan biasa bermalam di kantor sekretariat yang mirip gudang di belakang Asrama Mahasiswa Sunan Giri, Rawamangun. Sesekali saya juga bermalam di mushola sekolah di kawasan Kampung Ambon, Jakarta Timur. Masa SMA kami berusaha mandiri, meski masih mendapat uang jajan dari orangtua tiap pekan. Sebagian uang jajan kami tabung karena kami bermimpi memiliki percetakan besar untuk memproduksi buku-buku bermutu. Saya tak punya sepeda angin (apalagi sepeda motor, waktu itu), sehingga sesekali berjalan kaki dari rumah di daerah Pisangan Lama menuju sekolah sekitar 3-5 kilometer, atau sebaliknya bila pulang sekolah.
Isu nasional yang sedang merebak saat itu adalah pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial dan politik, sedangkan isu global tentang kemenangan Revolusi Iran dan serangan Uni Sovyet ke Afghanistan. Saya menulis artikel tentang masalah keislaman dan sukses belajar untuk buletin Jum’at, sementara untuk buletin organisasi saya tulis berita dan opini sosial-politik. Salah seorang mentor kami dalam tulis-menulis adalah Zaenal Muttaqien, kakak kelas di SMA yang kemudian menjadi Pendiri dan Pemimpin Redaksi Majalah Sabili.
Sebelum buletin organisasi naik cetak, biasanya saya konsultasi dengan Bang Zaenal yang waktu itu jadi Pengurus Wilayah PII Jakarta Raya. Kami janjian bertemu di Menteng Raya biasanya hari Jum’at sore atau akhir pekan, di luar jam sekolah. Suatu hari saya memuat pidato Ketua Umum PB PII tentang sikap organisasi terhadap tekanan pemerintah agar mengubah asas organisasi dari Islam menjadi Pancasila, saya muat utuh beberapa halaman. Kata Bang Zaenal kepanjangan, dipotong aja, sayang halamannya buat artikel lain atau iklan. Saya gak berani, akhirnya saya minta izin ke ruang Ketum bertemu Mas Tammim untuk minta arahan. Orangnya kalem, dia baca seluruh isi naskah dengan teliti, lalu berkomentar singkat: “Bagus. Semoga bisa bertahan lama terbitnya.” Cukup sekian. Padahal, foto Mas Tammim ada di halaman depan buletin itu. Setelah dicetak, buletin itu cukup laris dicari anggota dan alumni PII. Biasanya saya minta naskah asli pidato seorang tokoh untuk menjadi dokumen sejarah, tapi sekarang entah di mana tercecer.
Di belakang markas Menteng Raya terletak Masjid Al-Fataa sebuah bangunan bersejarah. Salah satu momen penting yang tercatat di masjid itu adalah pidato halal bilhalal Nurcholish Madjid berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (1970). Acara silaturahim yang digelar bersama aktivis Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan PII itu bikin gempar karena Cak Nur melontarkan jargon, “Islam Yes, Partai Islam No”. Padahal, saat itu bangsa Indonesia sedang menyongsong pemilihan umum yang pertama di era Orde Baru (1971). Sejak itu, para aktivis pelajar Muslim berkenalan dengan wawasan keindonesiaan, kemodernan dan keislaman. Entah mengapa, saya lebih tertarik dengan wawasan keislaman meskipun berasal dari latar belakang keluarga Jawa dan bisa dikatakan Islam abangan, menurut kategori Clifford Geertz. Salah satu tokoh yang mendorong saya untuk rajin membaca dan memfotokopi buku daras adalah Mas Tammim, selain Ayahanda yang seorang pegawai di perusahaan swasta nasional. Dari Ayahanda, saya dapat buku dan bacaan berbahasa asing tentang manajemen, kepemimpinan dan pemikiran sosial-politik. Minat baca itu (dan sesekali menerjemahkan buku berbahasa Inggris) semakin menggebu saat saya pindah kuliah di Surabaya dan berguru pada Ustadz Hud Abdullah Musa (cucu A. Hassan, tokoh Persatuan Islam) di Bangil, Jawa Timur. Saya mempelajari sejarah dan filsafat politik Islam. [Mh/bersambung]