oleh: Lisda Astuti (Pengamat Sosial)
ChanelMuslim.com – Sejumlah perusahaan besar tercatat memberikan dukungan dana kepada komunitas LGBT. Selain Unilever yang kemarin baru saja cukup menghebohkan jagat maya, nama-nama perusahaan besar terang-terangan mendukung LGBT, seperti Google, Coca Cola, Nike, Starbucks, dan lain-lain.
Lalu apa yang diinginkan korporasi besar atas dukungan mereka? Ingin membela hak-hak LGBT atau sekadar melihat ceruk pasar LGBT yang menggiurkan untuk bisnis mereka?
Mereka melihat komunitas LGBT merupakan sebuah pasar yang sangat besar saat ini, khususnya di Amerika dan Eropa. Istilah pink money merupakan uang yang dikeluarkan (kemampuan daya beli) oleh individu atau komunitas LGBT untuk membeli barang dan jasa.
Perusahaan komunikasi Bob Witeck yang berbasis di Washington, DC, Witeck Communications, telah melakukan studi daya beli tahunan terhadap orang dewasa gay, lesbian, biseksual, dan transgender AS. Pada 2016, analisis Witeck menentukan bahwa daya beli gabungan orang dewasa LGBT Amerika adalah $917 miliar pada 2015, meningkat 3,7% dari tahun sebelumnya. (Sumber: Wikipedia)
Laporan dari University of Georgia’s Selig Center for Economic Growth menyebutkan bahwa kemampuan membeli kelompok LGBT merupakan nomor tiga di antara kelompok minoritas Amerika Serikat lainnya. Kelompok pertama adalah keturunan Hispanik yang diperkirakan memiliki kemampuan membeli hingga 1,3 triliun dolar, sementara masyarakat Afrika Amerika di Amerika mencapai 1,2 triliun dolar, di tempat terakhir di bawah kelompok LGBT adalah keturunan Asia yang diperkirakan memiliki kemampuan membeli hingga 825 miliar dolar.
Melihat ceruk pasar yang besar dan menggiurkan, seiring dengan pengakuan hak-hak mereka di berbagai negara, bahkan terhitung puluhan negara (23 negara) yang sudah melegalkan pernikahan sejenis di aturan negaranya, ini semua menurut mereka menjadi pasar barang dan jasa yang besar untuk dimanfaatkan. Hal ini telah memunculkan layanan pernikahan LGBT, wisata LGBT, media, dll.
Beberapa industri AS telah mencoba untuk fokus pada pasar-pasar ini dengan kampanye iklan khusus; misalnya, American Airlines melihat pendapatannya dari orang LGBT naik dari $20 juta pada tahun 1994 menjadi $193,5 juta pada tahun 1999, setelah pembentukan tim yang ditujukan untuk pemasaran gay dan lesbian.
Perusahaan lain yang terlihat terang-terangan mencari pasar LGBT adalah Nissan. Di Israel, Nissan membuat iklan yang melibatkan keluarga dari berbagai golongan. Iklan itu menghadirkan anak perempuan yang menyebut bahwa keluarga bisa jadi terdiri dari dua ayah, dua ibu, atau bahkan tanpa kakak.
Industri pariwisata LGBT juga menjadi incaran kaum kapitalis. Pariwisata gay atau pariwisata LGBT adalah bentuk pariwisata yang dipasarkan untuk orang-orang gay, lesbian, biseksual, dan transgender (LGBT). Komponen utama pariwisata LGBT adalah untuk tujuan, akomodasi, dan layanan perjalanan yang ingin menarik wisatawan LGBT; orang yang ingin bepergian ke tujuan “ramah” LGBT ; orang-orang yang ingin bepergian dengan orang-orang LGBT lain ketika bepergian terlepas dari tujuan; dan pelancong LGBT yang terutama peduli dengan masalah budaya dan keselamatan.
Perusahaan-perusahaan besar dalam industri perjalanan (tour dan travel) sadar akan uang dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh ceruk pasar LGBT dan telah menjadikannya titik untuk menyelaraskan diri dengan komunitas gay dan kampanye pariwisata gay. Menurut laporan Universitas Travel 2000, 10% dari wisatawan internasional adalah gay dan lesbian, terhitung lebih dari 70 juta kedatangan di seluruh dunia. Segmen pasar ini diperkirakan akan terus naik.
Pemerintah Spanyol mendapat pemasukan sebesar US$160 juta dari penyelenggaraan festival kaum gay dan lesbian pada bulan Juni tahun lalu. Festival itu memang diselenggarakan dalam waktu yang tepat, yaitu saat liburan musim panas.
Spanyol, termasuk yang melegalkan hubungan sesama jenis, telah mendapat banyak keuntungan dari kunjungan wisata kaum gay dan lesbian.
Tak hanya Spanyol, sebenarnya banyak negara lain yang menjadi incaran kaum gay dan lesbian untuk berlibur, seperti Thailand dan Bali. Thailand kini telah diklaim sebagai destinasi LGBT terpopuler di Asia dan menjadi top ten LGBT tourist destination in the world. Pengaruh supply chain dari kedatangan turis tersebut berperan strategis terhadap pendapatan suatu negara. Bangkok tak hanya memberi peluang bagi turis domestik dan mancanegara untuk menikmati kesenangan secara bebas (terkait keramahan pada keberagaman identitas/ekspresi seksual), melainkan memberikan peluang atau kesempatan kerja yang pula beragam bagi kelompok LGBT lokal, mulai dari penghibur, penari, pekerja restoran, pemandu wisata, pengusaha homestay, pengola atraksi wisata, dan banyak lagi. Keberagaman pilihan pekerjaan terhadap kelompok LGBT di suatu destinasi wisata berdampak terhadap pemberdayaan ekonomi dan hancurnya stigma maupun stereotipe LGBT. Bahwa para waria tak sekadar dilihat sebagai pengamen, pekerja seks, atau jasa salon, melainkan bersaing secara setara dan adil dengan profesional.
Ya begitulah ideologi kapitalis. Kapitalisme memiliki standar pada manfaat bukan pada benar atau salah, menurut mereka ”selagi bermanfaat dan menguntungkan untuk mereka” walaupun hal itu mampu merusak tatanan kehidupan dan bertentangan dengan agama maka itu akan dianggap benar dan boleh.
Akankah negeri kita menjadi negara kapitalis yang menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan semata? Semoga tidak.[ind]