ChanelMuslim.com—Saat memasuki pertengahan Desember dan mendekati perayaan Natal tahun ini, kasus dugaan pemaksaan penggunaan atribut simbol-simbol Natal oleh pemilik perusahaan kepada pekerjanya yang beragama Islam cukup ramai dilaporkan.
Hal itu memicu keresahan di kalangan pekerja Muslim. Untuk melindungi pekerja Muslim dan meredam keresahan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang penggunaan atribut tersebut bagi umat Islam.
Adalah Komisi Fatwa MUI Pusat yang telah mengeluarkan fatwa terbaru terkait penggunakan atribut keagamaan non-Muslim bagi pemeluk Islam. Fatwa diumumkan pada Rabu (14/12/2016). Dalam fatwa penguatan ini, disebutkan soal penggunaan, ajakan, serta perintah penggunaan atribut agama lain (selain Islam) adalah haram.
“Menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram,” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin lewat publikasi fatwanya di Jakarta. Dia mengatakan, ajakan dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim juga tergolong haram.
Dalam menyikapi hal tersebut, Hasanuddin berharap umat Islam tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan beragama tanpa menodai ajaran agama serta tidak mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
Umat Islam, katanya, agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-Muslim dalam menjalankan ibadahnya bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
Bagi pimpinan perusahaan, kata dia, agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya dan tidak memaksakan kehendak kepada jajarannya untuk menggunakan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan Muslim.
Menurut dia, terjadi fenomena untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam dengan ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, supermarket, department store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan, yang mengharuskan karyawannya yang Muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-Muslim.
Hasanuddin mengatakan pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syariat agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
“Pemerintah wajib mencegah, mengawasi dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan yang sifatnya memaksa dan menekan pegawai Muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim,” kata dia.
Bagi umat Islam, dia meminta agar memilih jenis usaha yang baik dan halal serta tidak memproduksi, memberikan dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-Muslim.
Dalam Fatwa MUI bernomor 56 Tahun 2016 itu memang disebutkan tentang ‘Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan non–Muslim’. Dalam fatwa tersebut, MUI mengutip larangan-larangan dari banyak ulama, di antaranya pendapat Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, jilid IV halaman 239.
“Di antara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam telah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”.
Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut.”
Dalam fatwa ini MUI juga menyebutkan, “Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.”
Selanjutnya, dalam fatwa tersebut MUI juga menghimbau pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-Muslim kepada karyawan muslim.
“Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama,” bunyi fatwa MUI yang ditanda tangaani Komisi Fatwa MUI Pusat, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (Ketua), dan Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, MA (Sekretaris).
MUI pun mendesak pemerintah mencegah dan mengawasi pihak-pihak yang membuat peraturan dengan cara memaksa hak kaum Muslim sehingga bertentangan dengan ajaran agamaanya.
“Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-Muslim kepada umat Islam.”
Dengan fatwa terbaru ini, MUI juga meminta menyebarluaskan kabar ini agar semua kaum Muslim mengetahui. “Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini, “ tulis fatwa tersebut. (mr/antara/hidayatullah/ROL)