Chanelmuslim.com – Suara detik ketegangan mulai menyeruak. Bukan suara detik jam, bukan pula detik pencetus bom. Dan tak semua orang mendengarnya. Tapi, suara ketegangannya mulai menyergap.
Hal itu dimulai saat ada berita sebuah penembakan, ledakan bom, tembakan sniper di sebuah tempat. Berita pun bergelombang menuju sebuah hantu opini. Dan kami, para muslimah, mulai menunggu.
Berbagai bayangan antisipasi mulai membuat kulit kami merinding. Kami tersandera oleh berita. Berita tentang identitas pelaku, apiliasinya, negaranya, dan tentu saja agama pelaku.
Kami pandangi komputer. Selalu tertuju pada berita CNN saat di meja kerja. Semua dengan berbagai tanda tanya.
Ketegangan dan ketakutan pun kian berlipat bersamaan dengan spekulasi para reporter menangkap laporan saksi mata. Kami paham, sebagai muslimah Amerika, sebagai keturunan Arab warga Amerika, atau semua kami yang punya kemiripan dengan wajah Arab dan muslimah, berita-berita itu punya arti yang berbeda untuk kami.
Ketika para penembak membunuh dan melukai warga sebuah layanan sosial di San Bernardino, California, berbagai spekulasi mulai berkembang.
Awalnya, laporan media menyatakan bahwa peristiwa bukan aksi terorisme, melainkan penembakan massal.
Para ahli membedakan antara penembakan massal dengan aksi terorisme. Itulah yang diucapkan seorang profesor anti terorisme, Brian Levin, di Universitas California, San Bernardino.
Perhatikanlah, di Amerika kata terorisme tidak berlaku untuk sebuah penembakan massal yang biasa. Terorisme baru disebut jika pelakunya warga imigran Arab, dan beragama Islam.
Sungguh sebuah perbedaan istilah yang membingungkan jika dilihat secara jernih dan ilmiah.
Perhatikanlah sebuah kasus penembakan terencana yang dilakukan seseorang di sebuah klinik di Colorado minggu lalu. Robert Dear, seseorang yang dituduh melakukan pembunuhan terhadap tiga orang di sana, tidak disebut sebagai teroris.
Begitu pun yang terjadi di bulan Oktober lalu, penembakan yang dilakukan Christopher Harper Mercer di sebuah kelas dan menewaskan sepuluh orang, juga tidak disebut sebagai aksi terorisme.
Jadi, setiap ada kasus penembakan, kami para muslimah begitu mencermati perkembangan media, seraya berharap pelakunya bukan keturunan Arab, bukan muslim, atau bukan orang yang berwajah imigran Arab. Karena, jika pelakunya warga kulit putih, kami tidak akan pernah mendengar kata terorisme. Dan kami para muslimah pun merasa lega.
Minggu lalu, di Fredericksburg, Virginia. Seorang pembina Islamic Center Fredericksburg, Samer Shalaby menyampaikan rencana pengembangan masjid kepada sebuah pertemuan masyarakat di gedung serbaguna, ia pun diteriaki untuk diam.
“Kalian semua teroris,” teriak seorang hadirin. Teriakan itu pun disambut dengan tepukan tangan yang begitu riuh oleh para hadirin yang lain. Walaupun, kami telah menjadi tetangga mereka selama bertahun-tahun.
Begitulah, usai berlalunya histeria peristiwa 9/11 yang mulai senyap. Tiba-tiba semua menjadi berubah total saat calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump yang memanfaatkan kecurigaan dan kebencian terhadap umat Islam menjadi bahan kampanyenya. Mulailah Islam phobia bangkit.
Sebagai contoh, pemilik sebuah toko senjata di Florida baru-baru ini memberlakukan area bebas muslim untuk para pembelinya. Dan ulang tahun peristiwa 9/11 lalu memberlakukan diskon terhadap barang-barang dengan kode ‘muslim’. Saat ini, Anda bisa melihat buku panduan dan label yang tertera pada toko senjata dengan tulisan ‘bebas muslim’. (atau, benda yang terlarang untuk umat Islam, red)
Inilah gelombang diskriminasi yang terjadi di kalangan kulit putih terhadap umat Islam di sebuah era pertengah abad 20.
Jadi, kami hanya menunggu, konsekuensi apa yang akan kami alami jika pelaku penembakan bukan sekadar orang yang menembak, melainkan aksi terorisme. Teror sosial pun akan kami alami mengikuti pemberitaan media tentang aksi terorisme.
Seperti saat ini, ketika informasi berkembang dan menyimpan segudang bahaya. Pasangan muda degan bayi mungilnya yang sama sekali tidak pernah terkait dengan kegiatan politik mana pun, ketika identitas mereka terungkap, media pun mulai berspekulasi dengan apiliasi pelaku. Bahasa langganan mereka tak lain, ‘the jihadis next door’ dimulai.
Lalu, apa yang bisa kami lakukan? Bagaimana seharusnya kami para muslimahh bereaksi?
Saklar mulai ditekan. Sejumlah nama sudah diumumkan. Harapan kami tentang pelaku yang tidak mirip wajah kami, tentang tidak seagama dengan kami, tidak berbusana seperti yang kami kenakan; semua sirna.
Ketika kami tidak diizinkan untuk menyatakan berbeda dengan mereka yang tertuduh sebagai teroris. Ketika kami tidak bisa merasakan kelegaan jika para pelaku berkulit putih. Ketika mestinya mereka paham, bahwa pelaku teror siapa pun mereka adalah mewakili diri mereka sendiri.
Inilah penantian kami. Penantian yang seperti biasa akan mengarah kemana. Sebuah arah yang seperti biasa akan kami alami dan rasakan. (Seperti dituturkan seorang muslimah Amerika, Elmaz Abinader, kepada Aljazeera) mh