KESEPAKATAN gencatan senjata disambut baik warga Gaza. Inilah kesepakatan segitiga antara AS, Israel, dan Hamas yang masih menyimpan rasa harap-harap cemas.
Akhirnya, setelah perang selama 467 hari sejak 7 Oktober 2023 lalu, Israel dan Hamas menyepakati gencatan senjata di Doha Qatar, Rabu (15/1). Kesepakatan dilakukan melalui mediasi Qatar, Mesir, dan Amerika tentunya.
Tiga Tahap Perdamaian
Meski kesepakatan disetujui, pelaksanaannya baru dilaksanakan pada Ahad, 19/1 mendatang. Sayangnya, justru di ‘jeda’ hari kesepakatan itu, Israel seperti melampiaskan nafsu brutalnya untuk terus menyerang Gaza. Tidak kurang 30 warga Gaza syahid akibat serangan itu.
Kesepakatan itu akan dilakukan selama tiga tahap. Tahap pertama akan berlangsung selama 42 hari.
Isi singkat kesepakatan tahap pertama itu, Hamas wajib membebaskan 33 sandera warga Israel khususnya wanita dan anak-anak. Sementara, Israel wajib membuka pintu perbatasan untuk masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Di saat yang sama, warga Gaza yang berada di pengungsian pun akan diperbolehkan kembali ke lokasi tempat tinggal mereka.
Tahap kedua, Hamas wajib membebaskan sisa tawanan warga Israel. Sementara, Israel akan membebaskan 2 ribu warga Palestina yang ditahan Israel.
Tahap ketiga, Hamas wajib memulangkan semua sisa jenazah warga Israel, utuh maupun tidak. Sementara, Israel wajib menarik seluruh pasukannya dari wilayah Gaza.
Diharapkan, akhir dari kesepakatan gencatan senjata tahap tiga ini akan melahirkan gencatan senjata permanen antara Israel dan Hamas.
Tekanan dari Publik Israel dan Oligarki Yahudi
Selama perang 467 hari, setidaknya masih ada 101 orang warga Israel yang ditawan Hamas. Selama itu pula, pemerintah Israel ‘digempur’ habis oleh warganya untuk segera membebaskan keluarga mereka yang ditawan Hamas.
Hampir setiap hari, aksi unjuk rasa warga Israel terus berlangsung di Tel Aviv Israel. Mereka meminta agar Netanyahu segera membebaskan sandera.
‘Gempuran’ ini tentu menyulitkan posisi Netanyahu dan jajaran pemerintahannya. Di satu sisi, mereka merasa hebat bisa melumpuhkan Hamas dengan kekuatan senjata. Tapi di sisi lain, warga Israel mengkhawatirkan keselamatan keluarga mereka yang ditawan Hamas.
Posisi sulit ini pun berpadu dengan tekanan para oligarki Yahudi yang menguasai Amerika. Mereka tidak tahan lagi dengan kerugian bisnis yang terus jeblok. Mulai dari akibat boikot hingga terhalangnya suplai keluar masuk produk dan bahan dari wilayah Yaman. Entah sudah berapa kapal barang mereka yang tenggelam oleh rudal Houthi.
Hamas ‘Menaklukkan’ Amerika dan Israel
Dunia disuguhkan dengan kehebatan strategi perang Hamas. Meski mengakibatkan 40 ribu lebih warganya syahid, Hamas yang hanya sebagai ormas mampu menaklukkan Amerika dan Israel.
Logika para oligarki Yahudi Amerika sebenarnya sangat sederhana: duit. Mereka tidak peduli dengan ideologi. Kalau sudah sangat merugikan, apa pun bisa mereka korbankan, termasuk idealisme atau ideologi itu.
Dengan kata lain, karena alasan duit itulah Amerika menekan Israel untuk menghentikan perang. Karena toh perang tidak mampu membebaskan sandera yang diklaim Netanyahu sebagai cara jitu.
Dunia, siapa pun mereka, sulit memahami strategi perang Hamas itu. Terutama kecerdasan dan daya tahan mereka. Bagaimana mungkin ratusan sandera bisa aman dan nyaman di tengah gempuran hebat Israel siang dan malam.
Bahkan hingga di waktu jeda gencatan senjata, Hamas masih mampu melumpuhkan pasukan-pasukan Israel yang lengah. Padahal persenjataan mereka ‘ala kadarnya’.
Siasat Busuk Israel dan Amerika
Tentu, Hamas tidak begitu saja percaya dengan siasat busuk di balik gencatan senjata. Misalnya, kemungkinan pengkhianatan Israel setelah semua tawanan dibebaskan Hamas. Atau, ingkar janji AS setelah Trump dilantik.
Namun, semuanya sudah dihitung secara teliti. Keuntungan dan kerugiannya. Karena prioritas saat ini adalah bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza. Termasuk juga pemulihan tempat tinggal dan infrastruktur yang ada. [Mh]