SUDAN merupakan bangsa Arab yang terletak di Afrika. Hampir seratus persen warganya beragama Islam. Tapi, perang saudara seperti tak kunjung usai.
Banyak orang yang salah sangka dengan Sudan. Meski terletak di benua Afrika, Sudan merupakan bangsa Arab. Bahasa yang digunakan Bahasa Arab, dan hampir seratus persen warganya beragama Islam.
Lepas dari Mesir
Awalnya, Sudan termasuk bagian dari negara Mesir. Saat itu Mesir menerapkan pemerintahan secara monarchi atau kerajaan.
Tapi sejak terjadi kudeta militer pada tahun 1952, Mesir berganti sistem menjadi republik. Nah, kudeta militer inilah yang akhirnya belakangan berbuntut panjang.
Empat tahun kemudian, Sudan menyatakan lepas dari Mesir. Sepertinya, sebab musababnya ada kaitannya dengan kekuatan tentara yang saling bersaing.
Akhirnya, pada tanggal 1 Januari 1956, Sudan menyatakan berdiri sendiri sebagai sebuah negara, lepas dari Mesir.
Menariknya, justru wilayah yang lepas dari Mesir itu, luasnya lebih besar dari Mesir sendiri. Luas Sudan adalah 1,886 juta km2. Sementara luas Mesir 1,002 juta km2.
Luas Sudan ini menjadikan negeri kaya emas ini sebagai negara ketiga terluas di Afrika. Luas itu di bawah Al-Jazair dan Kongo. Bahkan luas Sudan hampir sama dengan luas daratan Indonesia yang sebesar 1,9 juta km2.
Kekayaan Alam
Kekayaan alam Sudan begitu melimpah. Sudan tergolong negara subur di wilayah Afrika. Sekiranya wilayah subur Sudan ditanami lahan pertanian, maka akan cukup untuk menyuplai kebutuhan pangan seluruh Afrika.
Belum lagi dari emas dan batu perhiasan lainnya. Sudan juga kaya dengan hasil tambang lain seperti uranium, seng, besi, timbal, dan lainnya. Tidak heran jika sumber daya alam Sudan begitu diminati banyak negara, termasuk Israel.
Dengan jumlah penduduk yang sekitar 40 jutaan, rasanya sudah cukup kekayaan alam itu bisa mensejahterakan penduduk Sudan. Tapi sayangnya, Sudan hanya berkutat pada persoalan konflik militer.
Konflik Militer
Pada masa pemerintahan Jenderal Omar Al-Bashir, Sudan ‘dirongrong’ oleh wilayah selatan yang secara etnis, budaya, dan agama memang berbeda dengan mayoritas orang Sudan.
Wilayah selatan ini kerap melakukan pemberontakan. Dan selalu ada pihak-pihak luar Sudan yang ikut ‘bermain’ dalam konflik ini. Siapa lagi kalau bukan Barat.
Konflik ini tergolong sangat lama. Yaitu, sejak akhir tahun 50-an, hingga merdeka pada tahun 2011.
Nah, di masa konflik dengan selatan ini, Presiden Al-Bashir mencari jalan pintas untuk berperang melawan Sudan Selatan. Ia tak ingin tentara resmi Sudan terlibat langsung karena isunya begitu sensitif: etnis dan agama.
Karena itu, Al-Bashir merekrut paramiliter atau suku-suku di pedalaman Sudan untuk dijadikan semacam tentara bayaran. Nama pasukan paramiliter ini disebut Janjawid.
Mereka disuplai perlengkapan militer, tapi tidak menjadi bagian tentara nasional. Karena pendidikan yang rendah, Janjawid lebih tumbuh seperti pasukan preman. Mereka kerap terlibat kejahatan perampokan, narkoba, dan lainnya. Meskipun mereka juga beragama Islam.
Jumlah mereka pun sudah sangat banyak. Yaitu sekitar 100 ribu orang. Dan ketika urusan Sudan Selatan selesai, pasukan paramiliter ini di kemudian hari menjadi masalah besar untuk Presiden Al-Bashir sendiri.
Penggulingan Presiden Al-Bashir
Presiden Al-Bashir awalnya merasa aman dengan keberadaan Janjawid yang kemudian ia ubah namanya menjadi RSF: Rapid Support Force. Dengan keberadaan RSF, ia merasa tidak akan dikudeta oleh tentara resmi Sudan.
Dari segi jumlah, RSF bisa mengimbangi tentara resmi Sudan yang jumlahnya satu setengah lebih besar dari RSF. Itu pun sudah termasuk tentara cadangan.
Namun siapa sangka, ternyata RSF dan tentara resmi Sudan justru bersekongkol untuk menggulingkan Presiden Al-Bashir. Dan, tergulinglah Al-Bashir pada 11 April 2019. Untuk sementara, Sudan dipimpin oleh jenderal dari militer resmi: jenderal Abdul Fatah al-Burhan sebagai presiden sementara.
Namun begitu, untuk memenuhi tuntutan internasional, Sudan juga dipimpin perdana menteri. PM yang disepakati adalah Kamil Idris.
Kini, kekuatan yang ada di Sudan hanya dua: tentara resmi dan tentara RSF. RSF dipimpin oleh jenderal Muhammad Hamdan Dagalo, sementara tentara resmi dipimpin oleh jenderal Abdul Fatah al-Burhan.
Karena RSF tidak setuju dengan presiden sementaranya dari tentara resmi, maka kekuatan ini melakukan pemberontakan. Pemberontakan itu terjadi sejak April 2025.
Tapi jangan salah, yang memberontak itu paramiliter. Jadi, dampak yang ditimbulkannya begitu luas dan menakutkan.
Selain itu, pasukan RSF bukan tentara resmi Sudan yang sebenarnya. Mereka tidak terdidik, baik pendidikan formal maupun agama. Tidak heran jika pemberontakan yang mereka lakukan begitu brutal.
Diperkirakan, warga yang sudah terbunuh dalam perang saudara itu, mancapai ratusan ribu orang.
Diperparah lagi, ada Israel di balik suplai senjata dan dana ke RSF. Suplai itu dilakukan melalui UEA atau Uni Emirat Arab. Tidak heran jika dunia saat ini mengutuk peran UEA dalam memperburuk keamanan di Sudan.
Tidak tertutup kemungkinan, ujung dari konflik berdarah ini, akan mengulangi konflik-konflik sebelumnya. Yaitu, disintegrasi atau lepasnya sebagian wilayah Sudan menjadi negara baru. [Mh]





