Oleh: Sapto Waluyo
(Direktur Center for Indonesian Reform)
Mantan Komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Bambang Widjoyanto menengarai pola korupsi baru yang sangat berbahaya di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. “Tindakan untuk tidak menyerap anggaran (APBD) yang berujung pada bentuk korupsi gaya baru yang belum bisa dijerat oleh hukum” (Kompas Online, 09/12/2016). BW merujuk laporan BPK per 31 Mei 2016, tentang pengelolaan aset tetap Pemprov DKI tidak memadai, yaitu pencatatan aset tetap tidak melalui siklus akuntansi dan tidak menggunakan sistem informasi akuntansi. BPK menemukan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan oleh Pemprov DKI Jakarta sebanyak 15 temuan senilai Rp 374 miliar.
Masih menurut BPK, aset tetap Dinas Pendidikan DKI senilai Rp 15 triliun tidak dapat diyakini kewajarannya. Pemprov DKI juga diketahui belum menagih kewajiban penyerahan fasos-fasum oleh 1.370 pemegang surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) dalam bentuk tanah seluas 16,84 juta meter persegi. Yang paling menyentak kesadaran publik, soal kemitraan antara Pemprov DKI dan pihak ketiga (konglomerat) senilai Rp 3,58 triliun, ternyata BPK belum dapat meyakini pencatatan asetnya. “Dari data-data itu, bagaimana bisa disebut pemerintahan DKI sebelumnya bebas dari unsur koruptif?” tutur BW.
Sinyalemen BW sejalan dengan informasi yang diungkapkan Ketua KPK, Agus Rahardjo tentang temuan terbaru BPK terkait indikasi kerugian negara dalam laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta. Agus membeberkan adanya aset Provinsi DKI yang tidak dimasukkan dalam APBD. Aset itu, antara lain mengenai pengadaan tanah di Cengkareng dan Sumber Waras. Kasus terbaru ialah rencana pembelian lahan eks-Kedubes Inggris yang ternyata masih aset Pemerintah Pusat. “Kami ingin menggali informasi dari BPK mengenai proyek-proyek off budget,” ujar Agus (kompas.com/2016/12/06). Penggunaan dana off budget berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Perbendaharaan Negara.
Publik tentu masih ingat penyimpangan dana non-budgetter di masa Orde Baru yang sangat merugikan kepentingan publik, karena anggaran untuk reboisasi –misalnya—digunakan untuk keperluan lain yang tak ada kaitannya dengan pelestarian hutan. Sekarang, penyimpangan itu dihidupkan kembali dan dipandang sebagai “inovasi birokrasi” atau “diskresi” gaya baru. Akal sehat publik telah dilecehkan dan profesionalitas penegak hukum dinistakan.
Banyak pihak tak sadar, virus korupsi di Indonesia telah menyerang seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kondisinya tambah parah, ketika liberalisasi ekonomi dan politik mencapai puncaknya di masa transisi. Karena itu, pendekatan yang harus ditempuh untuk memeranginya harus total. Ada yang melihat korupsi dari pendekatan kultural, yakni keanggotaan dalam jaringan sosial memberi banyak manfaat untuk memperoleh akses informasi, kesempatan kerja atau keuntungan material (Granovetter, 2005). Korupsi didefinisikan tidak hanya berdasarkan aturan formal, melainkan juga kesepakatan sosial dan persetujuan moral kelompok. Dalam konteks ini, moralitas masyarakat harus dijaga agar tetap bersih dan lurus.
Selain itu, perspektif legal memandang korupsi sebagai tindakan melanggar aturan formal yang menimbulkan akibat kerugian kepada lembaga publik. Pelaku korupsi didefinisikan sebagai pejabat negara yang menyalahgunakan wewenang dan kewajibannya (Gardiner, 2007). Dalam hal ini penegakan hukum yang konsisten dan disiplin birokrasi jadi kunci pemberantasan.
Sementara perspektif politik melihat korupsi yang terjadi dalam organisasi, sistem dan institusi politik, seperti partai politik, badan legislatif atau eksekutif, dan proses penyelenggaraan pemilihan umum. Korupsi didefinisikan sebagai pelanggaran pejabat publik untuk maksimalisasi keuntungan dari kondisi ekonomi yang ada, sehingga kepentingan masyarakat terabaikan (Heidenheimer dan Johnston, 2007). Contohnya, pengusulan dan pengalokasian anggaran negara/daerah demi keuntungan pribadi/partai dengan mengatasnamakan pengelolaan aspirasi konstituen. Untuk itu, reformasi politik harus dilakukan, bermula dari reformasi partai politik.
Gejala korupsi di Indonesia pada masa transisi sangat mengkhawatirkan, karena tampilnya rezim populis terbukti tidak melindungi hak publik atau membawa kesejahteraan rakyat. Yang lebih mengerikan, rezim populis memberi jalan (bahkan karpet merah) kepada para Taipan untuk masuk ke ranah politik. Lalu, para aktivis dan relawan diberi porsi kuasa dan sumberdaya, agar mengamini pelanggaran konstitusi gaya baru.
Sindroma Korupsi
Michael Johnston (1999) menguraikan sindroma korupsi sebagai implikasi dari hubungan kepentingan politik dan ekonomi. Oportunitas politik dan ekonomi diasumsikan akan membentuk pola-pola korupsi tertentu, karena setiap aktor berebut akses kekuasaan dan kekayaan. Lemahnya institusi politik dan ekonomi dimanfaatkan untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungkan pribadi atau kelompok tertentu. Transisi demokrasi –ketika rezim politik dan ekonomi lama runtuh, sementara rezim baru belum terbentuk– menimbulkan situasi krisis dimana korupsi mungkin bertransformasi. Tragisnya, praktek korupsi baru (dengan sebagian aktor lama) mengorganisasikan diri dan melakukan institusionalisasi yang justru menghambat proses konsolidasi demokrasi.
Johnston menampilkan faktor masyarakat sebagai alat pasif terjadinya korupsi. Oportunitas politik adalah ruang kompetisi untuk menduduki jabatan publik dan akses ke posisi penentuan kebijakan. Oportunitas ekonomi adalah akses atas sumberdaya dari berbagai kelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Lemahnya institusi politik berarti lemahnya proses artikulasi dan pengelolaan kepentingan publik secara akuntabel, sehingga mudah dibelokkan untuk kepentingan para sponsor. Kuat atau lemahnya institusi dibentuk oleh keragaman aktor dalam ranah politik dan ekonomi, sehingga kompetisi elite dalam kondisi lemahnya institusi politik akan menyebabkan pemerintahan oligarki dan berdasarkan klan (Johnston, 2005).
Lebih jauh, Johnston menjelaskan hubungan antara liberalisasi politik dan ekonomi dengan gejala korupsi yang muncul di negara-negara yang mengalami transisi dari rezim otoriterian menuju demokrasi. Sindroma korupsi muncul sebagai konsekuensi dari proses pembinaan institusi (yang bersifat terbuka atau tertutup) dan pengembangan partisipasi (berupa kesempatan politik atau ekonomi) yang belum optimal. Ketidakseimbangan (imbalance) yang terjadi antara pembinaan institusi dan perluasan partisipasi akan membuka celah bagi korupsi. Pola dan intensitas korupsi tercermin dari kondisi ketidakseimbangan dua aspek penting dalam konsolidasi demokrasi itu. Johnston menggambarkan pola korupsi dalam diagram (Johnston, 1999: 20).
Empat gejala korupsi berdasarkan hubungan antara pembinaan institusi dan pengembangan partisipasi, yaitu:
1. Interest-Group Bidding (Lelang Kelompok Kepentingan), terjadi ketika institusi bersifat terbuka dan partisipasi ekonomi lebih menonjol dari politik. Kepentingan bisnis lebih kuat dan aksesibilitas elite tinggi, penggunaan kekayaan untuk mencari pengaruh. Maka, korupsi lebih bersifat individual dan non-sistemik. Contoh negara yang mengalami situasi ini: Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan negara demokrasi liberal.
2. Fragmented Clientelism (Klientelisme Terserak), terjadi pada kondisi institusi yang terbuka berhadapan dengan partisipasi politik lebih besar dari kesempatan ekonomi. Elite terfragmentasi dan secara politik merasa tak aman, akhirnya membangun pengikut/massa yang rendah disiplinnya. Mafia, kekerasan dan intimidasi berkaitan dengan kasus korupsi. Risiko munculnya korupsi ekstrem seperti: Rusia, Polandia sebelum 1992, Peru (pra-Fujimori), fase awal Tammany Hall (New York), Italia (pra-1994), dan mayoritas rezim Afrika.
3. Elite Hegemony (Hegemoni Elite), terjadi manakala institusi bersifat otonom/tertutup dan partisipasi ekonomi lebih mengemuka. Segelintir elite mempertukarkan akses politik yang terbatas untuk meraih kekayaan. Maka, risiko korupsi yang ekstrem akan muncul. Misalnya di China (Provinsi Guandao), Hongkong (sebelum berdiri ICAC), Korea Selatan, Jepang di bawah pemerintahan LDP, dan rezim militer di Dunia Ketiga.
4. Patronage Machine (Mesin Patronase), terjadi ketika institusi yang tertutup berhadapan dengan partisipasi politik lebih besar daripada peluang ekonomi. Kontrol elite yang kuat terhadap partisipasi massa, kompetisi terbatas oleh patronase, memanfaatkan/kapitalisasi kondisi pengikut yang miskin. Korupsi dikendalikan oleh figur yang kuat/patron seperti terjadi di: Meksiko, Sicilia, Indonesia di masa Soeharto, Malaysia, mesin politik Tammany Hall yang sudah matang (New York).
Dalam kajian lanjutan, Johnston (2005: 40, lihat tabel) menguraikan gejala korupsi lebih rinci dengan menyempurnakan karakteristiknya. Sindroma Interest-Group Bidding dikemas ulang menjadi Influence Markets (Pasar Pengaruh), Fragmented Clientelism berubah menjadi Elite Cartels (Kartel Elite), Elite Hegemony dipertegas menjadi Oligarchs and Clans (Oligarki dan Klan), dan Patronage Machine disempurnakan menjadi Official Moghuls (Taipan Penguasa).
Korupsi dalam pola Pasar Pengaruh terjadi karena pelaku mensiasati celah proses demokrasi dan pasar bebas yang sudah matang, sementara institusi negara dan ekonomi cukup kuat. Pola Kartel Elite muncul ketika lembaga politik sedang mengalami konsolidasi dan pasar melakukan reformasi, sementara kapasitas negara dan institusi ekonomi tidak terlalu kuat (moderat). Kondisi lebih buruk mungkin terjadi, saat pergantian rezim politik dan pembentukan pasar baru di tengah institusi negara dan ekonomi yang lemah, yakni tampilnya Oligarki dan Klan. Kondisi paling buruk, ketika para Taipan (baca: Koruptor besar) berbaju Resmi (penguasa) mendominasi proses politik dan ekonomi, sedang institusi negara dan ekonomi berada di titik paling lemah.
People Power
Bagaimana menghadapi gejala korupsi, yang tak hanya bersifat sistemik dan endemik, tapi juga melibatkan aktor yang super dominan secara politik dan ekonomi? Indonesia telah menempuh berbagai cara untuk mengatasi korupsi dengan resep kelembagaan (reformasi birokrasi, pakta integritas dan pengawasan kinerja), formula legal-yudisial (pembentukan lembaga adhoc KPK dan reformasi terbatas Kepolisian/ Kejaksaan/ Kehakiman), atau aksi sosial (kampanye anti korupsi di berbagai wilayah dan lapisan warga). Namun, hasilnya tidak memuaskan dan persoalan tidak terselesaikan sampai ke akar penyebabnya.
Resep yang belum pernah dicoba adalah penggalangan kekuatan rakyat (people power) yang sadar dan kritis atas penderitaan yang mereka alami akibat maraknya korupsi. Reformasi 1998 yang ditandai secara historik oleh pendudukan gedung DPR/MPR dan diikuti lengsernya Presiden Soeharto mencerminkan kekuatan rakyat yang dahsyat dan dapat diarahkan. Gerakan protes melalui media sosial untuk merespon isu “Cicak versus Buaya” (pertentangan antara KPK dan aparat Kepolisian yang berlangsung hingga tiga ronde) menunjukkan fenomena baru, betapa proses mobilisasi kesadaran dapat dilakukan lebih cepat dan lebih massif. Puncaknya adalah “Aksi Bela Islam” yang berlangsung tiga fase hanya dalam waktu dua bulan merupakan aksi massa terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Jutaan warga berkumpul karena satu isu: penistaan agama.
Apakah mobilisasi kesadaran serupa bisa dilakukan untuk isu lebih strategis seperti pemberantasan korupsi dan penegakan pemerintahan yang bersih? Sejarah yang bisa menjawab. Dari ketiga pasang kandidat yang bertarung dalam pemilihan kepala daerah Jakarta terlihat jelas siapa yang berani berkomitmen untuk memerangi megakorupsi, dan siapa pula yang justru bersekutu dengan para Taipan untuk membangun istana baru bagi koruptor. Anies Baswedan secara terbuka dan tegas menyatakan akan menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, agar hak nelayan dan warga tetap terjaga (Detik, 7/12/2016). Sandiaga Uno, satu-satunya kandidat yang berlatar-belakang pengusaha mendukung penuh sikap Anies, karena proyek reklamasi telah menabrak undang-undang dan jelas-jelas merugikan kepentingan publik (Republika Online, 7/12/2016). Kandidat lain diam/ragu atau justru pasang badan membela kepentingan Taipan di balik reklamasi.
Warga Jakarta sebagai etalase perubahan di Indonesia perlu merenungkan dan memutuskan: apakah mereka akan menyerah pada status-quo atau memulai hidup baru yang lebih sejahtera dan bahagia? Apakah kita akan tunduk pada kemauan para Taipan yang dititipkan kepada pemimpin boneka atau kita berikan kepercayaan kepada pemimpin otentik yang berani melawan kezaliman? Jangan sampai anak-cucu kita mengutuk sikap lemah kita hari ini. [Mh/foto ilustrasi: maps.guzryant.com]