ChanelMuslim.com- Menikah itu mudah. Yang berat merawatnya. Terlebih lagi dengan perjalanan yang penuh onak dan duri, jurang dan tanjakan.
Perjalanan rumah tangga itu tidak selalu landai. Tidak jarang, perjalanan yang dilalui begitu berat. Tantangan dan hambatan serasa tak pernah henti terjadi.
Namun begitu, ujian berat itu tidak mengendurkan gerak langkah sejumlah pasangan suami istri untuk terus maju. Di antaranya sosok-sosok berikut ini.
Meski profilnya disamarkan, nilai-nilai yang bisa dipetik dari kegigihan mereka bisa menjadi cermin untuk kita. Berikut ini di antara cuplikannya.
Sepuluh Anak, Sepuluh Prestasi
Pasangan suami istri ini lama mengenal Islam sebagai agama yang sempurna. Karena itu, mereka pun bersikeras untuk mencetak putera-puteri mereka menjadi sempurna sesuai ajaran Islam.
Sang suami pegawai swasta biasa. Posisinya hanya pegawai rendahan yang gajinya pas untuk makan dan minum sebulan.
Syukurnya kekurangan itu bisa ditutupi oleh sang istri yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah pemerintah. Gajinya lumayan bisa buat biaya sekolah anak-anak mereka.
Tinggal di sebuah rumah sederhana tidak menjadikan mereka bertahan dalam standar akhlak yang ideal. Mereka mengajarkan anak-anak mereka yang semuanya putri untuk menjadi generasi yang Islami: cerdas dan berakhlak.
Sedemikian sederhananya, mereka berdomisili di lokasi rawan banjir. Setiap bulan Desember sampai Februari, ancaman bencana itu kerap “menghantui” mereka.
Pernah suatu kali, seluruh anggota keluarga sudah mengungsi. Karena kabar banjir biasa dikabarkan beberapa jam sebelum kejadian. Kecuali, sang suami yang bertahan untuk menjaga harta benda mereka.
Biasanya, mengungsi hanya satu hari. Paling lama, tiga hari. Cuma dalam empat bulan itu, bisa terjadi dua atau tiga kali mengungsi. Mereka mengungsi ke rumah sanak kerabat.
Ritme hidup keseharian pasangan itu begitu ketat. Pagi hari adalah momen yang paling “chaos”. Suami mau berangkat kerja, sepuluh anak ada yang mau kuliah dan sekolah, dan sang istri pun bersiap berangkat mengajar.
Menariknya, mereka hidup tanpa pembantu. Sang istri dibantu oleh anak-anak yang lebih besar. Mulai dari urusan memasak, dan mengurus rumah tangga.
Sang istri adalah sosok yang memiliki peranan luar biasa. Ia sebagai istri, ibu untuk sepuluh putri, pencari nafkah sebagai guru, dan yang lebih penting sebagai murabbi buat putri-putri mereka.
Setelah lebih tiga puluh tahun perjalanan berat itu bergulir, suami istri itu kembali tinggal dalam suasana seperti di awal mereka menikah. Tinggal berdua, hanya kadang anak dan cucu-cucu mereka singgah untuk kumpul keluarga.
Sepuluh putrinya bukan sekadar berhasil menjadi sarjana, tapi sukses menjadi sosok muslimah yang produktif: keluarga dan sosial.
Di usia senja itu, keduanya tidak merasa kesepian. Karena rumahnya bersebelahan dengan musholah tempat suami istri itu ibadah dan aktif mengajarkan agama untuk masyarakat.
Potret ini terasa sangat singkat di banding dengan perjalanan panjang nyata mereka. Mereka sudah membuktikan bahwa rumah bisa menjadi ruang-ruang cinta, ruang sekolah, madrasah, dan markas dakwah Islam. [Mh/bersambung]