ChanelMuslim.com – Bepergian atau safar adalah sebagian dari azab, hal ini dijelaskan oleh dr. Raehanul Bahraen bahwa terdapat hadits yang menjelaskan bahwa safar merupakan bagian dari azab.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَنَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أَهْلِهِ
“Safar (bepergian) itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang (terganggu) makan, minum, dan tidurnya. Maka, bila seseorang telah menunaikan maksud safarnya, hendaklah ia menyegerakan diri kembali kepada keluarganya.”
Apa maksud dari hadits ini? Maksudnya adalah safar memang ada kesusahan di dalamnya. Kesusahan ini adalah maksudnya adzab. Terlebih di zaman dahulu, safar merupakan keadaan yang sulit.
Medan safar yang sulit, melewati gurun yang luas dan panas, gunung dan hutan yang keras dan banyak hewan buas serta lautan yang terkadang sulit ditaklukkan.
Di zaman ini pun, apabila kita melakukan safar, kita masih merasakan ketidaknyamanan, di jalan kita sulit tidur, tidak merasakan privacy serta tidak merasa nyaman seperti merasa di rumah sendiri.
Satu hal yang penting dari pembahasan safar adalah kesusahan (azab) dalam safar ini akan memperlihatkan sifat dan akhlak aslinya seseorang.
Di saat senang dan gembira, bisa jadi semua orang bisa menunjukkan akhlak yang baik.
Akan tetapi, di saat-saat sulit, belum tentu bisa menjadi teman yang baik.
Bisa jadi di saat-saat sulit ia malah tidak mempedulikan temannya, hanya mempedulikan diri sendiri, bahkan sampai mengorbankan temannya (makan teman).
Baca juga: Mau Bepergian dengan Kereta Istimewa? Cek Tarif dan Fasilitasnya Berikut Ini
Bepergian adalah Sebagian dari Azab
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menjelaskan,
“Barangsiapa yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang baik, maka ketika tidak bersafar ia akan berakhlak lebih baik lagi. Dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji muamalahnya oleh para teman safarnya, maka janganlah engkau meragukan kebaikannya.”
Demikian juga penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Ustaimin bahwa dengan safar kita mengetahui hakikat akhlak seseorang.
Beliau berkata, “Diistilahkan safran [سَفْرًا l] karena diambil dari makna al-isfar [الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang, nyata.
Sebagaimana dikatakan dalam ungkapan [أَسْفَرَ الصُّبْحُ] yaitu bersinar atau bercahaya. Secara makna disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.”
Maksudnya, menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum terkuak jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/bepergian bersamanya. Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai, dan wataknya.”
Inilah yang disebut ulama dengan ungkapan: “Safar itu menyingkap sifat asli manusia dan menampakkan akhlak seseorang”
Bisa jadi pada saat safar, aib-aib seseorang akan nampak. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Disebut as-safaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.
Pada umumnya, seseorang yang tinggal di daerah asalnya tidak menampakkan kejelekan akhlaknya karena ia terbiasa dengan apa yang sesuai dengan tabiatnya yang biasa ia hadapi.
Jika ia melakukan safar, maka tidak biasa lagi dengan keadaan dan kebiasaannya. Ia akan diuji dengan kesusahan safar yang berat dan tersingkaplah kejelekan dan diketahui aib-aibnya.”
Oleh karena itu, ‘Umar bin Khaththab tidak langsung menerima rekomendasi orang lain sebelum mengetahui akhlak dan sifat asli seseorang.
Salah satu yang ‘Umar tanyakan adalah ‘apakah sudah pernah bersafar bersamanya atau tidak.’
Dalam suatu riwayat mengenai ‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, “Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu jika ada seseorang yang merekomendasikan temannya, beliau bertanya, ‘Apakah engkau pernah melakukan safar bersamanya?
Apakah engkau telah bergaul dengannya?’ jika jawabannya iya. maka ‘Umar pun menerimanya. Jika jawabannya belum pernah, maka ‘Umar akan mengatakan, ‘Engkau belum mengetahui hakikat senyatanya tentang orang itu.’
Mari kita introspeksi diri kita, apakah di saat-saat sulit bersama orang lain kita masih menampakkan sifat dan akhlak yang mulia atau tidak?[ind]
sumber: www.muslim.or.id
Catatan Kaki:
[1] Shahih Al-Bukhari no. 1804 dan Shahih Muslim no. 179
[2] Syarh riyadhus shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I
[3] Mukhtashar Minhajul Qashidin 2/57, Syamilah
[4] Syarh riyadhus shalilhin 3/77, Darul Atsar, Koiro, cet. I