HIJRAH itu menguras rasa. Yang termahal dalam hidup kita adalah hidayah. Yang menguras rasa dalam hidup kita adalah hijrah. Tetapi tanpa hidayah, hijrah tak ada artinya.
Oleh: Ustaz Umar Hidayat, M.Ag.
Sungguh hijrah itu menguras rasa. Berkali menyusuri jalan rumah lama bayangan masa lalu berebut menyuarakan dirinya. Semua kenangan yang pernah terjadi bertutur dengan ikhlasnya.
Ada cerita sedih, ada bahagia. Ada cerita penuh tawa, pun isak tangis mendera. Semua berlomba mencuri rasa dalam hati.
Sudahlah, relakan dan ikhlaskan semuanya. Yang sudah terjadi ya… terjadilah. Berat memang melangkah untuk pindah. Berhijrah. Berhijrah menyusuri lapak baru, mengukir sejarah hidup baru.
Begitupun yang dirasakan Rasulullah saat hijrah meninggalkan kota Mekah yang dicintainya. Rasulullah melangkah menyusuri padang pasir meninggalkan Mekah.
Baca Juga: Memaknai Momen Hijrah
Hijrah itu Menguras Rasa
Begitu telah melintasi perbatasan meninggalkan Mekah, Rasulullah sedih dan membalikkan badan menghadap ke Mekah lalu berkata;
“Demi Allah, wahai Mekah. Engkau adalah negeri yang paling aku cintai, tetapi masyarakatmu mengusirku darimu.” (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah menggunakan bahasa yang begitu dekat “aku-kamu” menanda begitu dekatnya Rasulullah dengan Mekah. Ada kedekatan emosional yang luar biasa.
Begitu sedih Rasulullah berpisah dengan Mekah. Maka tak salah bila saat Rasulullah sudah di Madinah merindukan Mekah.
Saat ada kafilah dagang dari Mekah datang ke Madinah Nabi selalu bertanya; sedang musim apa di Mekah?
Tetapi semua itu tidak meruntuhkan semangat dan bulatnya tekad Nabi untuk berhijrah. Hijrah pada akhirnya selalu akan menguras rasa.
Karena Nabi sangat yakin atas jalan yang ditempuh Allah ridloi dan pasti Allah menolongnya. Laa tahzan Inna Allaha ma’ana (Qs. At Taubah: 40).
Jika ingin hijrahnya sukses, maka bulatkan tekad, pastikan jalan hijrah yang benar, dan yakinlah pertolongan Allah pasti datang. Dan di antara cara membulatkan tekad itu adalah menguras rasa apa yang harus ditinggalkannya.[ind]