ChanelMuslim.com – Pribadi dan Martabat Buya Hamka ini ditulis oleh anak keduanya, H. Rusydi Hamka. Berisi mengenai perjalanan hidup Buya diberbagai bidang khusunya dakwah.
Buya Hamka adalah seorang ulama tanah air yang sangat produktif menelurkan karya-karya berupa buku. Mulai dari tema pemikiran Islam, akhlak hingga sastra dengan novel-novelnya. Selain ulama, Buya juga sempat bergelut dibidang politik mewakili Muhammadiyah dalam partai Masjumi, partai Islam satu-satunya masa itu.
Baca Juga: Kisah Setia Istri Buya Hamka
Pribadi dan Martabat Buya Hamka
Buku ini memuat cerita-cerita menarik Buya Hamka, terutama saat bersama penulis. Salah satu cerita yang menarik adalah ketika perjalanan keliling Buya Hamka, Rusydi Hamka dan Isa Anshari di ranah Minang.
Buya sering melontarkan pantun atas situasi yang dilewatinya dalam perjalanan. Tak jarang pantun yang dibuat adalah pantun jenaka dan menggoda.
Saat melewati seorang wanita yang sedang menunggu suaminya memanjat pohon dan kebetulan kereta api sedang lewat. Buya melontarkan sebuah pantun:
Berangkat kereta pukul empat
tiba di Padang pukul tiga
Sejak berlaki tukang panjat
badan berbau kararangga (semut merah)
Begitupun cerita-cerita yang penulis saksikan mengenai kepribadian pemaaf Buya Hamka. Saat Buya mau mengajarkan Islam kepada calon menantu Pramudya Anantatur, lawan politiknya yang sering menghina dan mencaci maki Buya Hamka. Begitupun tangisan Buya saat tahu Soekarno, yang telah memenjarakannya selama tiga tahun, meninggal dunia bahkan Buya menjadi imam shalat jenazahnya.
Kisah Buya saat akan dilantik menjadi ketua umum pertama Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975 menggambarkan kepribadiannya yang memiliki prinsip yang teguh.
Ditengah pergulatan politik saat itu, Buya menghadapi kondisi yang cukup dilematis untuk menerima tawaran ketua umum tersebut. Kritik-kritik yang bermunculan atas berdirinya Majelis Ulama itu bukanlah alasan dilematisnya.
Buya mengatakan, “soalnya bukan kritik itu, tapi niat kita untuk menerimanya untuk apa?.” Dari situ terjadi diskusi antara anak dan ayah.
Saat pada akhirnya Buya dilantik menjadi ketua umum, ia mengatakan, “Kita tidak mengartikan amar ma’ruf nahi munkar ini sebagai oposisi. Tapi dengan sikap itu, tidak berarti kita menjilat kepada pemerintah.”
Dan banyak lagi cerita-cerita menarik mengenai Buya yang dialami langsung oleh penulis. Percakapan-percakapan hangat, diskusi-diskusi berkualitas antara keduanya menjadikan buku ini tidak hentinya untuk dibaca.
Terkadang kita dibuat kagum dengan pribadi dan martabat Buya, dan terkadang kita dibuat tertawa dengan sisi humoris Buya. Selamat Membaca. [Ln]