HUKUM puasa ketika mudik. Mudik atau safar melakukan perjalanan adalah bagian dari hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat saat menjelang Idul Fitri.
Karena perjalanan ini adalah bagian dari kehidupan, Islam juga melalui syariatnya sangat memperhatikan masalah ini.
Oleh karena itu, Islam banyak memberikan keringanan bagi mereka yang melakukan perjalanan, baik dalam hal thoharoh, sholat, maupun puasa. Berikut penjelasannya.
Baca Juga: Hukum Pakai Obat Tetes Telinga dan Mata saat Puasa
Kebolehan Berbuka
Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc,. M.A. menjelaskan, di antara keringanan yang Islam berikan kepada mereka yang melakukan perjalanan (safar) adalah kebolehan untuk berbuka,
hal ini didasari dari dali-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadis Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
Firman Allah Subhanahu wa Taala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
Anas radhiyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang puasa Ramadan ketika safar, maka ia menjawab: “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadan
Maka, orang yang berpuasa tidaklah mencela orang yang berbuka. Begitu pula orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1118].
Hukum Puasa Ketika Mudik
Sebagian dari masyarakat kita mencoba untuk berfilsafat bahwa perjalanan sekarang berbeda dengan perjalanan mereka yang hidup pada masa lalu.
Perjalanan pada masa lalu sangat menyusahkan dan melelahkan, jadi sangat wajar jika mendapat keringanan untuk tidak berpuasa (berbuka), namun yang demikian, tidak didapat dari perjalanan saat ini.
Pesawat terbang, bus besar, kereta api, kapal laut, mobil mewah dan sebagiannya adalah jenis transportasi modern yang sangat memberikan kenyamanan dalam perjalanan.
Sehingga ada anggapan bahwa keringanan yang diberikan untuk berbuka itu sudah tidak berlaku lagi. Padahal apa yang ada dalam pikiran mereka tidak bisa langsung dibenarkan.
Dalam tradisi fikih yang menjadi sentral hukum itu adalah dalil, dan bahwa hukum yang berkaitan dengan ibadah itu bersifat tetap, sampai ada dalil yang menghapus keberlakuannya.
Dan bahwa suatu hukum tidak bisa dihapuskan hanya dengan standar logika semata.
Kebolehan untuk berbuka itu sangat jelas landasannya, Al-Qur’an dan Sunnah.
Keduanya menyebutkan bahwa kebolehan berbuka itu atas alasan (illah) perjalanan (safar), dan perjalanan yang dimaksud tidak mengharuskan perjalanan yang memberatkan (masyaqqah).
Menurut Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudah an-Nazhir menyebutkan bahwa perjalanan (safar) atau mudik yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan Hadits itu
sudah masuk dalam katagori illah (alasan) yang darinya bersumber banyak kemaslahatan (mansya’ al-hikmah), walaupun mungkin di sana tidak terdapat sesuatu yang memberatkan atau menyusahkan.
Jadi, perjalanan dengan sistem transportasi modern sekarang ini tidak menggugurkan keberlakuan ayat serta hadits yang membolehkan bagi mereka yang melalukan perjalanan untuk berbuka.
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya jilid 25 halaman 210 juga menuliskan:
“Bahwa kebolehan untuk berbuka bagi mereka yang melakukan perjalanan itu sudah menjadi kesepakatan semua ulama,
baik bagi mereka yang mampu untuk berpuasa maupun bagi mereka yang lemah untuk itu, baik perjalanannya memberatkan maupun perjalanan yang tidak memberatkan.”
Mudik, Bagusnya Berbuka atau Puasa?
Jadi berbuka atau tetap berpuasa itu hukum dasarnya adalah boleh, bukan wajib. Jika memang demikian, mana yang lebih utama untuk kita lakukan, berbuka saja atau tetap berpuasa?
Dalam hal ini, setidaknya para ulama kita terbagi dalam tiga pendapat besar; Puasa lebih utama, berbuka lebih utama, mana yang paling memudahkan itulah yang utama.
Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i, yang demikian teruntuk bagi mereka yang kuat untuk berpuasa.
Alasannya adalah bahwa Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya ketika melakukan perjalanan lebih banyak berpuasa ketimbang berbuka,
dan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan melakukan sesuatu kecuali yang utama untuk dilakukan.
Pendapat kedua, berbuka lebih utama adalah pendapat dari Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq dan lainnya,
karena keringanan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Taala itu lebih utama untuk diambil ketimbang diabaikan.
Hal ini senada dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].
Imam Muslim dalama riwayatnya menyebutkan bahwa dulunya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan,
beliau melihat segerombolan orang yang berkumpul mengerumuni seseorang yang sepertinya dalam kelelahan, lalu tiba-tiba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan perihalnya,
dan mereka menjawab bahwa dia yang mereka kerumuni itu dalam keadaan berpuasa, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar.” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1115].
Baca Juga: Tips Mudik Lebaran 2023 Menggunakan Mobil Pribadi
Pendapat ketiga adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz, Mujahid dan Qatadah bahwa yang paling utama itu adalah yang paling ringan di antara keduanya.
Landasan dasarnya adalah karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dihadapkan di antara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah.
Maka ilustrasinya seperti ini, jika badan kuat dan perjalanan tidak terlalu memberatkan sedang meng-qodho puasa adalah hal yang menyulitkan,
karena kita berpuasa pada saat semua orang berbuka, maka dalam hal ini berpuasa lebih utama.
Sedang jika badan lemah dan perjalanan juga memberatkan dan meng-qodho puasa lebih mudah bagi kita walaupun pada waktu itu nanti semua orang berbuka, dalam hal ini berbuka lebih utama untuk diakukan.
Jadi pendapat yang ketiga ini membedakan kondisi kapan kita lebih baik berpuasa dan kapan pula kondisi dimana kita lebih baik berbuka.
Puasa lebih utama ketika kita khawatir lalai dalam mengganti puasa, atau bagi musafir yang tidak mendapati kelelahan dalam perjalanannya,
apalagi jika perjalanan dilakukan dengan alat transportasi modern seperti sekarang ini, atau juga bagi mereka yang hidupnya selalau dalam perjalanan;
sopir bus antar kota antara provinsi, pilot, pramugari, masinis, nakhoda kapal, dan lainnya, mereka ini baiknya berpuasa saja, jika memang perjalanannya tidak memberatkan.
Akan tetapi, sebaliknya jika memang perjalanan memberatkan, dan kondisi badan lemah, seperti mereka yang sekarang ini sering mudik dengan menggunakan sepeda motor
karena mungkin tidak punya cukup ongkos, atau kehabisan tiket kereta api, asalkan memang benar-benar tidak kuat untuk berpuasa. Dalam hal ini, berbuka lebih baik.
Hanya saja, yang juga harus diperhatikan bagi mereka yang memilih berbuka agar sedikit bersembunyi ketika makan atau minum,
ini demi menjaga kehormatan bulan puasa juga menghormati mereka yang sedang berpuasa.
Juga yang perlu diperhatikan untuk segera menggantinya ketika nanti bulan puasa sudah berakhir, hal ini karena Allah Subhanahu wa Taala berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Jika Memilih Berbuka, Kapan Berbukanya?
Mudik atau safar memang termasuk alasan yang dengannya kita dibolehkan untuk berbuka, akan tetapi tidak serta-merta ketika ada niat untuk melakukan perjalanan kita sudah boleh berbuka.
Tidak. setidaknya ada beberapa hal yang harus terpebuhi barulah kita boleh berbuka:
Keluar Rumah atau Keluar Batas Kota
Jadi tidak benar jika seandainya hanya dengan alasan safar, lalu dengan sengaja sebelum keluar rumah kita sudah sarapan pagi, ngopi, ngeteh, makan nasi uduk, gorengan, lontong, pempek, dan lain sebagainya.
ini sangkaan yang salah dalam memahami perihal kebolehan untuk tidak berpuasa ini.
Tetap saja bahwa kita dianjurkan untuk makan sahur seperti biasa, dan paginya tetap berpuasa, lalu kemudian packing dan saat perjalanan dimulai kita masih dalam keadaan berpuasa,
barulah setelah kita keluar rumah dan setelah kita melewati batas kota berlaku kebolehan untuk berbuka, itu pun jika perjalanan yang kita lakukan itu memenuhi jarak minimal perjalanan.
Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’-nya menegaskan bahwa seseorang itu barulah dinamakan musafir jika dia sudah melakukan perjalanan yang biasanya dimulai dengan keluar rumah dan sudah melewati batas kota.
Lebih jelas, Al-Qurthubi di dalam tafsirnya jilid 2, halaman 278 menambahkan bahwa seorang musafir itu tidaklah cukup disebut musafir hanya karena niatnya saja,
yang demikian berbeda dengan seorang yang mukim, disebut musafir dengan perbuatan, dan dengan seketika bisa disebut mukim (menetap) walau hanya dengan niat.
Jarak Minimal
Para ulama berbeda pendapat dalam batasan berapa jarak minimal perjalanan yang membolehkan kita untuk berbuka,
perbedaan ini sama persis dengan perbedaan para ulama dalam membatasi batasan minimal perjalanan yang membolehkan kita untuk menjamak atau meng-qoshor shalat.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islmi wa Adillatuh menyebutkan bahwa mayoritas ulama mensyaratkan perjalanan itu berjarak lebih kurang 89 km, atau detailnya adalah 88, 704 km.
Kalangan Hanafiyah menilai bahwa safar yang dimaksud adalah perjalanan yang memakan waktu tiga hari perjalanan, hal ini didasarkan kepada keterangan berikut:
كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا إذَا كُنَّا سَفْرًا أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ
“Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam memerintahkan kami untuk mengusap kedua sepatu bila kedua kaki kami dalam keadaan suci selama tiga hari tiga malam” (HR. Ahmad Nasa’i Tirmizi)
Akan tetapi, kalangan Hanabilah tidak mensyaratkan jarak, asalkan perjalanan itu masuk secara katagori safar secara urf (budaya), sepertinya mereka mengaminkan pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni Jilid 2 halaman 257,
lagipula Al-Qur’an secara redaksional tidak menyebutkan jarak, Al-Qur’an hanya menyebutkan katagori safar saja,
maka di sinilah peran urf dalam membatasi mana yang secara budaya masuk dalam katagori safar dan mana yang tidak.
Mudik, berbuka atau tetap berpuasa? Adalah pertanyaan yang kita sendirilah bisa menjawabnya setelah kita semuanya mengetahui segala hal yang terkait dengannya.
Sahabat Muslim, semoga Allah Subhanahu wa Taala memberikan keselamatan bagi kita semua ketika mudik lebaran, dan pada waktunya bisa berkumpul bersama keluarga tercinta dalam keberkahan Ramadan dan Idul Fitri.
Wallahu a’lam.[Ind/Wld].