ChanelMuslim.com – Inilah kisah Rasulullah Muhammad mendapat wahyu pertama. Ketika berusia genap 40 tahun, mulai tampak tanda-tanda nubuwah di dalam diri Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Di antara tanda-tanda itu adalah mimpi yang hakiki di dalam tidur, beliau tidak pernah melihat sesuatu melainkan ada sesuatu yang datang menyerupai fajar subuh.
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dijuluki Al-Amin karena perkataannya yang lemah lembut, sifatnya yang mulia, paling terjaga jiwanya, paling terpuji kebaikannya, paling baik memenuhi janji, dan paling bisa dipercaya.
Keadaan Muhammad juga digambarkan Ummul Mukminin Khadijah.
Ketika Rasulullah berusia hampir empat puluh tahun dan diangkat menjadi Rasul, selama bulan Ramadan, satu bulan penuh, sesuatu yang disukainya adalah mengasingkan diri.
Dalam bahasa Arab disebut dengan istilah tahannuts.
Sebagai bekal, beliau membawa roti dari gandum dan air, kalau perbekalan habis, beliau pulang ke rumah mengambil bekal yang baru atau Khadijah mengirim utusan mengantarkan sampai kaki bukit.
Jarak dari rumah beliau ke Jabal Nur kira-kira 4 mil dari Mekkah.
Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan sekitarnya. Beliau tidak penah puas melihat keyakinan kaumnya yang tak pernah lepas dari takhayul.
Oleh sebab itu, beliau tidak pernah mengikutinya. Begitu juga beliau sangat gelisah melihat ketidakadilan serta kezaliman yang dilakukan oleh para pembesar dan penguasa Mekkah.
Baca Juga: Kasih Sayang Rasulullah kepada Anak-Anak
Kisah Rasulullah Muhammad Mendapat Wahyu Pertama
Ketika berusia genap 40 tahun, mulai tampak tanda-tanda nubuwah, di antara tanda-tanda itu adalah mimpi yang hakiki di dalam tidur beliau tidak pernah melihat sesuatu melainkan ada sesuatu yang datang menyerupai fajar subuh.
Sampai suatu malam, Allah subhanahu wa taala mengutus Jibril menyampaikan wahyu pertama kepada Muhammad.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri bercerita: “Pada malam itu, Jibril datang mendekapku sampai aku kepayahan.
Kemudian melepaskanku dan berkata: “Bacalah.” Aku menjawab aku tidak bisa membaca. Jibril kembali memegangiku dan merangkulku hingga aku merasa sesak.
Kemudian melepaskanku dan berkata: ‘Bacalah.” Aku menjawab aku tidak bisa membaca. Jibril kembali mendekapku untuk ketiga kalinya sampai aku merasa sesak. Kemudian melepaskanku dan berkata:
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS.Al-‘Alaq 96:1-5)
Rasulullah mengulang bacaan ini dengan hati yang bergetar, lalu beliau pulang menemui Khadijah dengan penuh ketakutan badannya menggigil.
Sampai di rumah, seraya berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku! Pinta beliau. Maka beliau diselimuti hingga badan beliau tidak lagi dan membiarkan beliau istirahat sambil menenangkan diri.
Setelah Rasulullah merasa tenang barulah bercerita kepada isterinya apa yang baru saja dialaminya. Khadijah kemudian memawa Nabi Muhammad saw menemui saudara sepupunya Waraqah ibn Naufal.
Sepupu Khadijah ini seorang Nasrani yang taat, mampu menulis Taurat dan Injil dalam bahasa Ibrani. Ia sudah tua dan buta.
“Apa yang pernah engkau lihat wahai saudaraku?” tanya Waraqah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah Waraqah mendengarkan apa yang dialami oleh Muhammad, dia bekata:
“Ini adalah Namus (Malaikat Jibril) yang Allah turunkan kepada Musa alaihis salam. Andaikan saja aku masih muda saat itu. Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu”, katanya.
Spontan Muhammad bertanya: “Benarkah mereka akan mengusirku?”
Waraqah menjawab: “Ya, tidaklah seseorang membawa seperti yang kau bawa, kecuali pasti akan dimusuhi. Andai aku masih hidup pada masa itu, tentu aku akan menolongmu dengan sungguh-sungguh.”
Namun, Waraqah meninggal, pada saat –saat turun wahyu.
Ath-Thabrani dan Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam pergi meninggalkan gua Hira’ setelah mendapatkan wahyu, lalu menemui istrinya dan pulang ke Makkah.[ind/Walidah]
Bersambung