Chanelmuslim.com – Hari pertemuan dengan Raja Najasyi akhirnya ditentukan. Kaum muslimin diundang. Kedua kubu akan beradu argumentasi di hadapan Raja Najasyi.
Dengan tenang penuh wibawa, dan kerendahan hati yang penuh pesona, Raja Najasyi duduk di singgasana raja, dan di sekitarnya tampak para pengawal raja dan para pendeta.
Di arah depan raja, di ruang yang cukup luas, kaum muslimin duduk dengan tenang.
Kedua utusan kafir Quraisy berdiri mengemukakan tuduhan miring terhadap kaum muslimin. Tuduhan-tuduhan yang sudah mereka sampaikan dalam pertemuan khusus mereka dengan Raja Najasyi sebelum pertemuan besar ini.
“Baginda Raja yang mulia, orang-orang bodoh ini telah nyasar ke negeri Tuan. Mereka tinggalkan agama nenek moyang mereka, dan tidak pula masuk agama Paduka. Mereka datang dengan agama baru yang tidak kami kenal. Paduka pun tidak mengenalnya. Sungguh, kami ini diutus oleh para pembesar kaum mereka, dengan tujuan kiranya Paduka mengembalikan mereka kepada kaum mereka.”
Najasyi memandang ke arah kaum muslimin dan bertanya, “Agama apa yang menyebabkan kalian meninggalkan bangsa kalian, tetapi tidak tertarik dengan agama kami?”
Ja’far berdiri untuk menunaikan tugas yang telah diamanahkan oleh kawan-kawannya. Sebelum pertemuan ini, mereka telah sepakat memilih Ja’far sebagai juru bicara.
Dengan ramah dan penuh hormat, Ja’far memandang sang Raja yang telah berbaik hati menerima mereka, lalu berkata, “Paduka yang mulia, dahulu kami memang orang-orang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji, memutuskan silaturahmi, menyakiti tetangga dan menyakiti orang yang meminta perlindungan. Yang kuat memakan yang lemah. Hingga Allah mengutus kejujuran, ketulusan, dan kesucian jiwanya. Ia mengajak kami untuk mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar, meninggalkan patung dan berhala yang selama ini kami sembah secara turun temurun.
Dia menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menyambung silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga, tidak melanggar larangan, dan tidak membunuh orang lain.
Kami dilarang berbuat zina, berbohong, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Kami mempercayai dan mengikutinya. Kami mempercayai dan mengikuti semua yang dia dapatkan dari Tuhannya. Kami menyembah Allah semata, dan tidak menyekutukannya dengan yang lain. Kami jauhi apa yang dilarang, dan kami lakukan apa yang dibolehkan. Lalu kaum kami marah. Siksaan sering kami terima, hanya untuk mengembalikan kami menyembah berhala dan ajaran buruk mereka.
Ketika penganiayaan dan siksaan yang mereka lancarkan semakin dahsyat, bahkan kami sulit untuk menjalankan ajaran agama kami, maka kami hijrah ke negeri Paduka. Kami berharap mendapatkan perlindungan dari Paduka, karena yang kami tahu, Paduka bukanlah raja yang zalim.”
Kata-kata itu keluar dengan indah dari mulut Ja’far. Bagaikan cahaya fajar yang mempesona., Najasyi pun terpana. Ia memandang Ja’far dan bertanya, “Apakah engkau membawa sesuatu (wahyu) yang diturunkan kepada Rasul kalian itu?”
Ja’far, “Ya.”
Najasyi, “Bacakan kepadaku”.
Lalu Ja’far membacakan beberapa ayat dari surat Maryam dengan tenang dan khusyu’ yang memikat.
Najasyi menangis. Begitu juga para pendeta yang hadir di ruangan itu.
Ketika air matanya mulai berhenti, Najasyi berkata kepada dua utusan kafir Quraisy, “Sesungguhnya apa yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa as. Berasal dari sumber yang sama. Kembalikanlah kalian berdua kepada kaum kalian. Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian.”
Pertemuan itu pun selesai. Allah telah menolong para hamba-Nya. Sementara itu, kedua utusan Quraisy mendapat kekalahan yang memalukan.
Tetapi, Amru bin ‘Ash adalah orang yang lihai dan berpengalaman. Ia memiliki banyak taktik. Ia tidak mau kalah begitu saja dan tidak mengenal putus asa.
Ia terus memeras otak. Belum lagi keduanya sampai di tempat penginapan, ia sudah berkata kepada rekannya, “Demi tuhan, besok aku akan kembali menemui Najasyi. Akan kuutarakan kepadanya persoalan yang membuat kaum muslimin itu dihukum mati.”
Kawanya menjawab, “Jangan lakukan. Bukankah kita masih memiliki hubungan keluarga dengan mereka, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita?”
Amru berkata, “Demi Tuhan, akan kuberitahukan kepada Najasyi bahwa mereka menyebut Isa putra Maryam itu manusia biasa, seperti manusia yang lain.”
Ini rupanya tipu muslihat baru yang akan dilancarkan utusan kafir Quraisy terhadap kaum muslimin untuk memojokan mereka hingga tidak berkutik. Seandainya kaum muslimin mengatakan bahwa Isa adalah seorang hamba Allah seperti hamba yang lainnya, pasti hal ini akan membangkitkan kemarahan Raja dan para pendeta. Dan jika kaum muslimin mengatakan bahwa Isa bukan manusia, maka mereka telah keluar dari ajaran agama mereka.
Keesokan paginya, kedua utusan itu segera mengahadap Raja, dan berkata kepadanya, “Wahai Paduka, perkataan orang-orang Islam itu tentang Isa sungguh sangat tidak pantas.”
Pada pendeta langsung gaduh. Mereka terpengaruh kata-kata itu.
Maka, mereka memanggil Ja’far dan rekan-rekannya sekali lagi, untuk menanyakan bagaimana sebenarnya pandangan Islam tentang Isa Al-Masih.
Orang-orang Islam tahu bahwa ada skenario baru. Mereka pun berunding, dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk menyampaikan apa yagn mereka dapat dari Rasulullah, tanpa harus mengubah sedikit pun. Apa pun yang terjadi setelah itu, biarlah terjadi.
Pertemuan kedua pun dimulai. Najasyi bertanya kepada Ja’far, “Bagaimana pandangan kalian tentang Isa?”
Ja’far berdiri bak menara yang memancarkan cahaya, “Akan kami katakan sesuai keterangan yang kami terima dari Nabi kami. Isa adalah hamba dan utusan Allah. Ia adalah kalimat Allah yang ditiupkan kepada Maryam. Dia adalah ruh dari-Nya.”
Najasyi langsung mengiyakan jawaban Ja’far. Ia menjelaskan bahwa itulah yang dikatakan Isa tentang dirinya. Di sisi lain, terjadi hiruk-pikuk di kalangan para pendeta, seakan mereka tidak setuju.
Lalu, Najasyi berkata kepada kaum muslimin, “Kalian bebas tinggal di negeri ini dengan aman. Siapa saja yang mencela atau menyakiti kalian, maka mereka akan mendapatkan hukuman setimpal.”
Kemudian, Raja Najasyi berkata kepada para pengawalnya, seraya menunjuk kepada dua utusan kafir Quraisy, “Kembalikan hadiah-hadiah itu kepada kedua orang ini. Aku tidak membutuhkannya. Demi Allah, Allah tak pernah mengambil uang sogokan dariku ketika Dia mengaruniakan tahta ini kepadaku. Karena itu, aku juga tidak menerima sogokan.”
Kedua utusan kafir Quraisy itu pun pergi meninggalkan tempat pertemuan dengan perasaan hina dan malu. Mereka langsung pulang ke Mekah.
Kaum muslimin di bawah pimpinan Ja’far, juga meninggalkan ruangan pertemuan untuk memulai hidup baru yang aman di tanah Habasyah. “Di negeri yang baik, bersama tetangga yang baik.” Mereka akan tinggal di sana sampai Allah mengizinkan mereka pulang ke kampung halaman mereka, bertemu dengan Rasul dan rekan-rekan seperjuangan.
Saat itu Rasulullah saw. bersama kaum muslimin sedang bersuka-cita dengan kemenangan Perang Khaibar. Tiba-tiba, datanglah rombongan dari Habasyah. Mereka adalah Ja’far dan kaum muslimin yang lain.
Nabi sangat gembira dan bahagia. Nabi langsung memeluk Ja’far seraya berkata, “Aku tidak tahu, mana yang lebih menggembirakanku, kemenangan Perang Khaibar, ataukah kembalinya Ja’far.”
Setelah itu, Rasulullah bersama kaum muslimin menuju Mekah untuk melaksanakan Umrah Qadha, lalu pulang ke Madinah. Ja’far sangat gembira setelah mendengar kiprah kaum muslimin di Perang Badar, Uhud dan peperangan lain. Air matanya pun berlinang saat mengingat rekan-rekannya yang telah gugur mendahuluinnya sebagai syuhada. Hatinya pun melayang ke taman surga, “Kapankah giliranku?” Sejak saat itu ia menantikan peperangan untuk mendapatkan kesyahidan yang didambakan.
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom